BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Tujuan
pembuatan karya tulis ini diantaranya:
1.1 Untuk memenuhi tugas sekolah khususnya yang
berkaitan dengan mata pelajaran Bahasa Indonesia.
1.2. Agar siswa menambah ilmu pengetahuan yang diperoleh
di sekolah dan salah satu bidang studi yaitu :
v Bahasa Indonesia
v IPS
Adapun hal-hal yang melatar belakangi diadakanya
adalah :
Ø Sesuai dengan progam tahunan di sekolah.
Ø Yogyakarta merupakan kota budaya serta terdapat
tempat-tempat yang mengandung sejarah.
Ø Melihat hal tersebut diatas, maka prakasa guru
memandang perlu untuk melakukan kunjungan yang bersifat Studi Wisata, yaitu
belajar sambil berkarya wisata ke Yogyakarta. Adapun tempat yang dituju :
v Akademi Angkatan Udara (AAU)
v Candi
Prambanan
v Malioboro
v Keraton
Yogyakarta
v Malioboro
B.
Rumusan
Pembahasan
Permasalahan yang akan dibahas
dalam karya tulis ini adalah seputar objek wisata yang kami kunjungi, diantaranya
:
1.1. Bagaimanakah sejarah Keraton Yogyakarta,
Candi Prambanan, Malioboro, Akademik
Angkatan Udara (AAU), Candi Borobudur?
1.2. Dimanakah letak Keraton
Yogyakarta, Candi Prambanan, Malioboro, Akademik Angkatan Udara (AAU), Candi
Borobudur?
1.3. Bagaimanakan tata bangunan
Keraton Yogyakarta, Candi Prambanan, Malioboro, Akademik Angkatan Udara (AAU),
Candi Borobudur?
1.4. Objek – objek apa sajakah yang
ada pada Keraton Yogyakarta, Candi Prambanan, Malioboro, Akademik Angkatan
Udara (AAU), Candi Borobudur?
1.5. Benda-benda pusaka apa saja yang ada pada Keraton
Yogyakarta, Candi Prambanan, Malioboro, Akademik Angkatan Udara (AAU), Candi
Borobudur?
C.
Tujuan
1.
Tujuan
Umum
Setiap
kegiatan pasti memiliki tujuan , adapun tujuan khusus kami dalam melakukan
penelitian dari objek – objek wisata , diantaranya:
1.1
Menambah koleksi foto untuk
menjadi kenang-kenangan.
1.2
Ingin belajar tapi berwisata
juga.
2.
Tujuan
Khusus
Setiap
kegiatan pasti memiliki tujuan, adapun tujuan khusus kami dalam melakukan
penelitian dari objek–objek wisata, diantaranya:
1.1. Ingin mengetahui sejarah Keraton Yogyakarta, Candi
Prambanan, Malioboro, Akademik Angkatan
Udara (AAU), Candi Borobudur.
1.2. Supaya
menjadi tahu tentang letak/lokasi Keraton Yogyakarta, Candi Prambanan,
Malioboro, Akademik Angkatan Udara (AAU), Candi Borobudur.
1.3. Mengetahui
dan menambaah ilmu pengetahuan tentang tata bangunan Keraton Yogyakarta, Candi
Prambanan, Malioboro, Akademik Angkatan Udara (AAU), Candi Borobudur.
1.4. Menambah
wawasan mengenai objek–objek yang ada di Keraton Yogyakarta, Candi Prambanan,
Malioboro, Akademik Angkatan Udara (AAU), Candi Borobudur.
1.5 Menambah
wawasan mengenai benda-benda pusaka yang ada di Keraton
Yogyakarta, Candi Prambanan, Malioboro, Akademik Angkatan Udara (AAU), Candi
Borobudur.
D. Manfaat
Penelitian
yang kami lakukan ini berharap memperoleh manfaat sebagai berikut :
1.1. Sebanyak–banyaknya kami mengumpulkan data , secara
langsung dan terperinci dari tiap–tiap objek wisata yang dikunjungi.
1.2. Kami mendapatkan pengetahuan yang praktis yang
dijadikan sebagai landasan untuk mengembangkan intelektual dimasa yang akan
datang.
1.3. Menghilangkan Verbalisme antara teori dan praktek .
1.4. Memperluas cakrawala bagi kami mengenai objek-objek
wisata tersebut
1.5. Menambah wawasan dan mengetahui secara dalam mengenai
budaya, sejarah, lingkungan, serta karya seni dan sebagainya.
E.
Sumber-sumber
Ø Internet
BAB
II
ISI
LAPORAN
A.
Nama
lokasi, Perjalanan, dan Waktu Kunjungan
1. Nama
Lokasi
v Akademik Angkatan Udara (AAU)
v Candi Prambanan
v Malioboro
v Keraton Yogyakarta
v Candi Borobudur
2. Perjalanan
dan Waktu Perjalanan
Hari Kamis tanggal 19 Desember 2013,
jam 06.10 kami dan semuanya berangkat dari sekolah menuju ke Yogyakarta. Selama
diperjalanan, kami berhenti di rest area KM 72 dari jam 08.50 sampai 09.15.
Kami melanjutkan perjalanan lagi untuk menuju ke Pringsewu di daerah Tasik, Jawa
Barat. Sekitar 3 jam kita tempuh waktunya, akhirnya sampai juga di Rumah Makan
Pringsewu Cirebon untuk beristirahat, makan siang, sholat, dan sebagainya. Jam
13.40, kami berangkat lagi untuk melanjutkan perjalanan. Menjelang sore sekitar
jam 17.15, kami berhenti lagi di tempat makan. Di sana kami menunggu adzan
maghrib untuk sholat, makan sore, melihat pemandangan persawahan, dan
sebagainya. Setelah itu, kami melanjutkan perjalanan lagi untuk menuju ke
hotel. Kami berangkat jam 18.31 dan dengan seiring berjalannya waktu sekitar
jam 23.15 kami sampai juga di Hotel Amarta Jl. Amarta 397 (Jl. Wates KM 2,5)
Yogyakarta.
Hari Jumat tanggal 20 Desember 2013,
jam 01.38 kami istirahat untuk tidur, beres-beres, ataupun yang lainnya setelah
mendapatkan kamar masing-masing. Jam 04.15 kami bangun tidur dan ada sebagian
yang bangunnya telat juga. Sekitar jam 04.20
waktunya mandi untuk berganti-gantian dengan teman yang lainnya juga. Setelah
itu, ada sebagian yang sholat shubuh dan ada yang sebagian menikmati kesejukan
di hotel itu tersebut. Jam 07.30 waktunya sarapan pagi dan setelah itu
siap-siap menuju ke AAU. Jam 08.15 kami melanjutkan perjalanan ke AAU dan
sekitar satu jam setengah kami sampai di AAU. Setelah dari AAU kami ke rest area
terlebih dahulu untuk melaksanakan ibadah sholat jumat bagi laki-laki dan
sholat dzuhur untuk yang perempuan, dan kami di sana juga makan siang. Setelah
selesai sekitar jam 12.15 kami berangkat untuk menuju ke objek wisata
selanjutnya yaitu Candi Prambanan. Saat itu cuacanya sedang tidak cerah dan
sedang musim hujan. Menjelang sore sekitar jam 16.05 kami menuju ke Malioboro dan
sekitar setengah jam saja kami sampai di Malioboro. Di sana ada yang berbelanja,menikmati
indahnya malioboro menjelang sore, foto-foto, dan lain-lainnya. Di sana adalah moment yang sangat indah sekali. Kami di
kasih waktu 2 jam untuk berjalan-jalan di malioboro. Sudah 2 jam, kami
berkeliling dan shoping. Kami
melanjutkan perjalanan ke hotel untuk beristirahat. Sekitar jam 20.15 kami
sampai di hotel untuk makan malam di Hotel Amarta. Jam 21.16 masing-masing
menuju ke kamar masing-masing untuk beristirahat, beres-beres, mandi, tidur dan
sebagainya.
Hari Sabtu tanggal 21 Desember 2013 jam
05.00 kami bangun pagi dan setelah itu beres-beres, mandi, dan lain-lainnya.
Jam 07.15 kami sarapan pagi bersama-sama. Setelah itu, jam 05.10 kami
melanjutkan ke Keraton Yogyakarta. Setelah itu, kami melanjutkan perjalanan ke
tempat belanja makanan khas Yogyakarta. Baru kami melanjutkan perjalanan ke
Candi Borobudur. Walaupun sedang rintik-rintik, tapi kami masih senang dengan
tanpa adanya rasa menyesal. Sekitar 3 jam berlalu, kami harus melanjutkan
perjalanan ke Jakarta. Pada malam hari, kami berhenti di tempat makan dan
peristirahatan . Dan setelah itu kami melanjutkan perjalanan lagi.
Hari Minggu tanggal 22 Desember 2013
jam 05.25 kami berhenti di rest area untuk melaksanakan sholat shubuh.
Berjalannya waktu kami berhenti di Indramayu sekitar jam 08.15 untuk
beristirahat dan menikmati indahnya suasana di pagi hari. Setelah itu, kami
melanjutkan perjalanan lagi menuju Jakarta sekitar 2 jam. Dan akhirnya, kami
sampai juga di SMP Negeri 3 Tangerang jam 11.30 dan setelah itu masing-masing
pulang ke rumah dan beristirahat.
B.
Deskripsi
Lokasi Situs-situs Sejarah di Wilayah Yogyakarta
1.
Keraton Yogya
Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat atau Keraton Yogyakarta merupakan istana resmi Kesultanan
Ngayogyakarta Hadiningrat yang kini berlokasi di Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia. Walaupun kesultanan tersebut secara resmi telah menjadi
bagian Republik Indonesia pada tahun 1950, kompleks bangunan
keraton ini masih berfungsi sebagai tempat tinggal sultan dan rumah tangga istananya yang masih menjalankan
tradisi kesultanan hingga saat ini. Keraton ini kini juga merupakan salah satu
objek wisata di Kota Yogyakarta. Sebagian kompleks keraton merupakan museum yang menyimpan berbagai koleksi milik kesultanan,
termasuk berbagai pemberian dari raja-raja Eropa, replika pusaka keraton, dan gamelan. Dari segi
bangunannya, keraton ini merupakan salah satu contoh arsitektur istana
Jawa yang terbaik,
memiliki balairung-balairung mewah dan lapangan serta paviliun yang luas.
Keraton
Yogyakarta mulai didirikan oleh Sultan Hamengku Buwono I beberapa bulan pasca
Perjanjian Giyanti di tahun 1755. Lokasi keraton ini konon adalah bekas sebuah
pesanggarahan yang bernama Garjitawati. Pesanggrahan ini digunakan untuk
istirahat iring-iringan jenazah raja-raja Mataram
(Kartasura dan Surakarta)
yang akan dimakamkan di Imogiri. Versi lain menyebutkan
lokasi keraton merupakan sebuah mata air, Umbul Pacethokan, yang ada di
tengah hutan Beringan. Sebelum menempati Keraton Yogyakarta, Sultan Hamengku
Buwono I berdiam di Pesanggrahan Ambar Ketawang yang sekarang termasuk
wilayah Kecamatan Gamping Kabupaten Sleman.
Secara
fisik istana para Sultan Yogyakarta memiliki tujuh kompleks inti yaitu Siti
Hinggil Ler (Balairung Utara), Kamandhungan Ler
(Kamandhungan Utara), Sri Manganti, Kedhaton, Kamagangan,
Kamandhungan Kidul (Kamandhungan Selatan), dan Siti Hinggil Kidul (Balairung
Selatan). Selain itu Keraton Yogyakarta memiliki berbagai warisan budaya baik
yang berbentuk upacara maupun benda-benda kuno dan bersejarah. Di sisi lain,
Keraton Yogyakarta juga merupakan suatu lembaga adat lengkap dengan pemangku
adatnya. Oleh karenanya tidaklah mengherankan jika nilai-nilai filosofi begitu
pula mitologi menyelubungi Keraton Yogyakarta
Secara umum
tiap kompleks utama terdiri dari halaman yang ditutupi dengan pasir dari pantai
selatan, bangunan utama serta pendamping, dan kadang ditanami pohon tertentu.
Kompleks satu dengan yang lain dipisahkan oleh tembok yang cukup tinggi dan
dihubungkan dengan Regol yang biasanya bergaya Semar Tinandu. Daun pintu
terbuat dari kayu jati yang tebal. Di belakang atau di muka setiap gerbang
biasanya terdapat dinding penyekat yang disebut Renteng atau Baturono.
Pada regol tertentu penyekat ini terdapat ornamen yang khas.
Bangunan-bangunan
Keraton Yogyakarta lebih terlihat bergaya arsitektur Jawa tradisional. Di
beberapa bagian tertentu terlihat sentuhan dari budaya asing seperti Portugis,
Belanda, bahkan Cina. Bangunan di tiap kompleks biasanya berbentuk/berkonstruksi
Joglo atau derivasi/turunan konstruksinya. Joglo terbuka tanpa dinding disebut dengan
Bangsal sedangkan joglo tertutup dinding dinamakan Gedhong
(gedung). Selain itu ada bangunan yang berupa kanopi beratap bambu dan bertiang
bambu yang disebut Tratag. Pada perkembangannya bangunan ini beratap
seng dan bertiang besi.
Permukaan
atap joglo berupa trapesium. Bahannya terbuat dari sirap, genting tanah, maupun
seng dan biasanya berwarna merah atau kelabu. Atap tersebut ditopang oleh tiang
utama yang di sebut dengan Soko Guru yang berada di tengah bangunan,
serta tiang-tiang lainnya. Tiang-tiang bangunan biasanya berwarna hijau gelap
atau hitam dengan ornamen berwarna kuning, hijau muda, merah, dan emas maupun
yang lain. Untuk bagian bangunan lainnya yang terbuat dari kayu memiliki warna
senada dengan warna pada tiang. Pada bangunan tertentu
(misal Manguntur Tangkil)
memiliki ornamen Putri Mirong, stilasi dari
kaligrafi Allah, Muhammad, dan Alif Lam Mim Ra, di tengah tiangnya.
Untuk batu
alas tiang, Ompak, berwarna hitam dipadu dengan ornamen berwarna emas.
Warna putih mendominasi dinding bangunan maupun dinding pemisah kompleks.
Lantai biasanya terbuat dari batu pualam putih atau dari ubin bermotif. Lantai
dibuat lebih tinggi dari halaman berpasir. Pada bangunan tertentu memiliki
lantai utama yang lebih tinggi. Pada bangunan tertentu dilengkapi dengan batu
persegi yang disebut Selo Gilang tempat menempatkan singgasana Sultan.
Tiap-tiap
bangunan memiliki kelas tergantung pada fungsinya termasuk kedekatannya dengan
jabatan penggunanya. Kelas utama misalnya, bangunan yang dipergunakan oleh
Sultan dalam kapasitas jabatannya, memiliki detail ornamen yang lebih rumit dan
indah dibandingkan dengan kelas dibawahnya. Semakin rendah kelas bangunan maka
ornamen semakin sederhana bahkan tidak memiliki ornamen sama sekali. Selain
ornamen, kelas bangunan juga dapat dilihat dari bahan serta bentuk bagian atau
keseluruhan dari bangunan itu sendiri.
v Kompleks Depan
v Gladhag-Pangurakan
Gerbang
utama untuk masuk ke dalam kompleks Keraton Yogyakarta dari arah utara adalah
Gapura Gladhag dan Gapura Pangurakan yang terletak persis beberapa meter di
sebelah selatannya. Kedua gerbang ini tampak seperti pertahanan yang berlapis.
Pada zamannya konon Pangurakan merupakan tempat penyerahan suatu daftar jaga
atau tempat pengusiran dari kota bagi mereka yang mendapat hukuman
pengasingan/pembuangan.
Versi lain
mengatakan ada tiga gerbang yaitu Gapura Gladhag, Gapura Pangurakan nJawi, dan
Gapura Pangurakan Lebet. Gapura Gladhag dahulu terdapat di ujung utara Jalan
Trikora (Kantor Pos Besar Yogyakarta dan Bank BNI 46)
namun sekarang ini sudah tidak ada. Di sebelah selatannya
adalah Gapura Pangurakan nJawi yang sekarang masih berdiri dan menjadi gerbang
pertama jika masuk Keraton dari utara. Di selatan Gapura Pangurakan nJawi
terdapat Plataran/lapangan Pangurakan yang sekarang sudah menjadi bagian dari
Jalan Trikora. Batas sebelah selatannya adalah Gapura Pangurakan Lebet yang
juga masih berdiri. Selepas dari Gapura Pangurakan terdapat Kompleks Alun-alun
Ler.
v Alun-alun Ler
Tanah lapang, "Alun-alun Ler", di bagian utara
kraton Yogyakarta dengan pohon Ringin
Kurung-nya
Alun-alun
Ler adalah sebuah lapangan berumput di bagian utara Keraton Yogyakarta. Dahulu
tanah lapang yang berbentuk persegi ini dikelilingi oleh dinding pagar yang
cukup tinggi. Sekarang dinding ini tidak terlihat lagi kecuali di sisi timur
bagian selatan. Saat ini alun-alun dipersempit dan hanya bagian tengahnya saja
yang tampak. Di bagian pinggir sudah dibuat jalan beraspal yang dibuka untuk
umum.
Di pinggir
Alun-alun ditanami deretan pohon Beringin (Ficus benjamina; famili Moraceae)
dan ditengah-tengahnya terdapat sepasang pohon beringin yang diberi
pagar yang disebut dengan Waringin
Sengkeran/Ringin Kurung (beringin yang dipagari). Kedua pohon ini diberi
nama Kyai Dewadaru dan Kyai Janadaru. Pada zamannya selain
Sultan hanyalah Pepatih Dalem yang boleh melewati/berjalan di antara kedua pohon
beringin yang dipagari ini. Tempat ini pula yang dijadikan arena rakyat duduk
untuk melakukan "Tapa Pepe"
saat Pisowanan Ageng sebagai
bentuk keberatan atas kebijakan pemerintah. Pegawai/abdi-Dalem Kori akan menemui mereka untuk
mendengarkan segala keluh kesah kemudian disampaikan kepada Sultan yang sedang
duduk di Siti Hinggil.
Di
sela-sela pohon beringin di pinggir sisi utara, timur, dan barat terdapat
pendopo kecil yang disebut dengan Pekapalan,
tempat transit dan menginap para Bupati dari daerah Mancanegara Kesultanan.
Bangunan ini sekarang sudah banyak yang berubah fungsi dan sebagian sudah
lenyap. Dahulu dibagian selatan terdapat bangunan yang sekarang menjadi
kompleks yang terpisah, Pagelaran.
Pada zaman
dahulu Alun-alun Ler digunakan sebagai tempat penyelenggaraan acara dan upacara
kerajaan yang melibatkan rakyat banyak. Di antaranya adalah upacara garebeg
serta sekaten, acara watangan serta rampogan macan, pisowanan ageng, dan
sebagainya. Sekarang tempat ini sering digunakan untuk berbagai acara yang juga
melibatkan masyarakat seperti konser-konser musik, kampanye, rapat akbar,
tempat penyelenggaraan ibadah hari raya Islam sampai juga digunakan untuk sepak
bola warga sekitar dan tempat parkir kendaraan.
v Mesjid Gedhe Kasultanan
Kompleks
Mesjid Gedhe Kasultanan (Masjid Raya Kesultanan)
atau Masjid Besar Yogyakarta terletak di sebelah barat
kompleks Alun-alun utara. Kompleks yang juga disebut dengan Mesjid Gedhe
Kauman dikelilingi oleh suatu dinding yang tinggi. Pintu utama kompleks
terdapat di sisi timur. Arsitektur bangunan induk berbentuk tajug
persegi tertutup dengan atap bertumpang tiga. Untuk masuk ke dalam terdapat
pintu utama di sisi timur dan utara. Di sisi dalam bagian barat terdapat mimbar
bertingkat tiga yang terbuat dari kayu, mihrab
(tempat imam memimpin
ibadah), dan sebuah bangunan mirip sangkar yang disebut maksura. Pada
zamannya (untuk alasan keamanan)
di tempat ini Sultan melakukan ibadah. Serambi masjid
berbentuk joglo persegi panjang terbuka. Lantai masjid induk dibuat lebih
tinggi dari serambi masjid dan lantai serambi sendiri lebih tinggi dibandingkan
dengan halaman masjid. Di sisi utara-timur-selatan serambi terdapat kolam
kecil. Pada zaman dahulu kolam ini untuk mencuci kaki orang yang hendak masuk
masjid.
Di depan
masjid terdapat sebuah halaman yang ditanami pohon tertentu. Di sebelah utara
dan selatan halaman (timur laut dan tenggara bangunan masjid raya)
terdapat sebuah bangunan yang agak tinggi yang dinamakan Pagongan. Pagongan di timur laut masjid
disebut dengan Pagongan Ler (Pagongan Utara) dan yang berada di tenggara disebut dengan Pagongan Kidul
(Pagongan Selatan). Saat upacara Sekaten, Pagongan Ler
digunakan untuk menempatkan gamelan sekati Kangjeng Kyai (KK) Naga Wilaga
dan Pagongan Kidul untuk gamelan sekati KK Guntur Madu. Di barat daya
Pagongan Kidul terdapat pintu untuk masuk kompleks masjid raya yang digunakan
dalam upacara Jejak Boto pada upacara Sekaten di tahun Dal. Selain itu
terdapat Pengulon, tempat tinggal resmi Kangjeng Kyai Pengulu di sebelah
utara masjid dan pemakaman tua di sebelah barat masjid.
v Kompleks Inti
Ø Kompleks Pagelaran
Bangunan
utama adalah Bangsal Pagelaran yang dahulu dikenal dengan nama Tratag
Rambat. Pada zamannya Pagelaran merupakan tempat para punggawa kesultanan
menghadap Sultan pada upacara resmi. Sekarang sering digunakan untuk even-even
pariwisata, religi, dan lain-lain disamping untuk upacara adat keraton.
Sepasang Bangsal Pemandengan terletak di sisi jauh sebelah timur dan
barat Pagelaran. Dahulu tempat ini digunakan oleh Sultan untuk menyaksikan
latihan perang di Alun-alun Lor.
Sepasang Bangsal
Pasewakan/Pengapit terletak tepat di sisi luar sayap timur dan barat
Pagelaran. Dahulu digunakan para panglima Kesultanan menerima perintah dari
Sultan atau menunggu giliran melapor kepada beliau kemudian juga digunakan
sebagai tempat jaga Bupati Anom Jaba. Sekarang digunakan untuk kepentingan
pariwisata (semacam diorama yang menggambarkan prosesi adat,
prajurit keraton dan lainnya). Bangsal Pengrawit yang terletak di dalam
sayap timur bagian selatan Tratag Pagelaran dahulu digunakan oleh Sultan untuk
melantik Pepatih Dalem. Saat ini di sisi selatan kompleks ini dihiasi dengan
relief perjuangan Hamengkubuwono I|Sultan HB I dan Sultan HB IX. Kompleks
Pagelaran ini pernah digunakan oleh Universitas Gadjah Mada sebelum memiliki
kampus di Bulak Sumur.
Ø Siti Hinggil Ler
Di selatan
kompleks Pagelaran terdapat Kompleks Siti Hinggil. Kompleks Siti Hinggil secara
tradisi digunakan untuk menyelenggarakan upacara-upacara resmi kerajaan. Di
tempat ini pada 19 Desember 1949 digunakan peresmian Universitas Gadjah Mada. Kompleks ini dibuat lebih tinggi dari tanah
di sekitarnya dengan dua jenjang untuk naik berada di sisi utara dan selatan. Di
antara Pagelaran dan Siti Hinggil ditanami deretan pohon Gayam (Inocarpus edulis/Inocarpus fagiferus; famili Papilionaceae).
Di kanan
dan kiri ujung bawah jenjang utara Siti Hinggil terdapat dua Bangsal
Pacikeran yang digunakan oleh abdi-Dalem Mertolulut dan Singonegor
sampai sekitar tahun 1926. Bangunan Tarub Agung terletak tepat di ujung
atas jenjang utara. Bangunan ini berbentuk kanopi persegi dengan empat tiang,
tempat para pembesar transit menunggu rombongannya masuk ke bagian dalam
istana. Di timur laut dan barat laut Tarub Agung terdapat Bangsal Kori.
Di tempat ini dahulu bertugas abdi-Dalem Kori dan abdi-Dalem Jaksa
yang fungsinya untuk menyampaikan permohonan maupun pengaduan rakyat kepada
Sultan.
Bangsal
Manguntur Tangkil terletak
ditengah-tengah Siti Hinggil di bawah atau di dalam sebuah hall besar terbuka
yang disebut Tratag Sitihinggil. Bangunan ini adalah tempat Sultan duduk
di atas singgasananya pada saat acara-acara resmi kerajaan seperti pelantikan
Sultan dan Pisowanan Agung. Di bangsal ini pula pada 17 Desember 1949 Ir.
Soekarno dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia
Serikat. Bangsal Witono berdiri di selatan Manguntur Tangkil. Lantai
utama bangsal yang lebih besar dari Manguntur Tangkil ini dibuat lebih tinggi.
Bangunan ini digunakan untuk meletakkan lambang-lambang kerajaan atau pusaka
kerajaan pada saat acara resmi kerajaan.
Bale Bang yang terletak di sebelah timur Tratag Siti Hinggil pada
zaman dahulu digunakan untuk menyimpan perangkat Gamelan Sekati, KK Guntur
Madu dan KK Naga Wilaga. Bale Angun-angun yang terletak di
sebelah barat Tratag Siti Hinggil pada zamannya merupakan tempat menyimpan
tombak, KK Suro Angun-angun.
Ø Kamandhungan Lor
Di selatan
Siti Hinggil terdapat lorong yang membujur ke arah timur-barat. Dinding selatan
lorong merupakan dinding Cepuri dan terdapat sebuah gerbang besar, Regol
Brojonolo, sebagai penghubung Siti Hinggil dengan Kamandhungan. Di
sebelah timur dan barat sisi selatan gerbang terdapat pos penjagaan. Gerbang
ini hanya dibuka pada saat acara resmi kerajaan dan di hari-hari lain selalu
dalam keadaan tertutup. Untuk masuk ke kompleks Kamandhungan sekaligus kompleks
dalam Keraton sehari-hari melalui pintu Gapura Keben di sisi timur dan
barat kompleks ini yang masing-masing menjadi pintu masing-masing ke jalan Kemitbumen
dan Rotowijayan.
Kompleks
Kamandhungan Ler sering disebut Keben karena di halamannya ditanami pohon
Keben (Barringtonia asiatica; famili Lecythidaceae).
Bangsal Ponconiti yang berada ditengah-tengah halaman merupakan bangunan
utama di kompleks ini. Dahulu (kira-kira sampai 1812) bangsal ini digunakan
untuk mengadili perkara dengan ancaman hukuman mati di mana Sultan sendiri yang
yang memimpin pengadilan. Versi lain mengatakan digunakan untuk mengadili semua
perkara yang berhubungan dengan keluarga kerajaan. Kini bangsal ini digunakan
dalam acara adat seperti garebeg dan sekaten. Di selatan bangsal Ponconiti
terdapat kanopi besar untuk menurunkan para tamu dari kendaraan mereka yang
dinamakan Bale Antiwahana. Selain kedua bangunan tersebut terdapat
beberapa bangunan lainnya di tempat ini.
Ø Sri Manganti
Kompleks
Sri Manganti terletak di sebelah selatan kompleks Kamandhungan Ler dan
dihubungkan oleh Regol Sri Manganti. Pada dinding penyekat terdapat
hiasan Makara raksasa. Di sisi barat kompleks terdapat Bangsal Sri
Manganti yang pada zamannya digunakan sebagai tempat untuk menerima
tamu-tamu penting kerajaan. Sekarang di lokasi ini ditempatkan beberapa pusaka
keraton yang berupa alat musik gamelan. Selain itu juga difungsikan untuk
penyelenggaraan even pariwisata keraton.
Bangsal
Traju Mas yang berada di
sisi timur dahulu menjadi tempat para pejabat kerajaan saat mendampingi Sultan
dala menyambut tamu. Versi lain mengatakan kemungkinan tempat ini menjadi balai
pengadilan . Tempat ini digunakan untuk menempatkan beberapa pusaka yang antara
lain berupa tandu dan meja hias. Bangsal ini pernah runtuh pada 27 Mei 2006
akibat gempa bumi yang mengguncang DIY dan Jawa Tengah.
Di sebelah
timur bangsal ini terdapat dua pucuk meriam buatan Sultan HB II yang mengapit
sebuah prasasti berbahasa dan berhuruf Cina. Di sebelah timurnya berdiri Gedhong
Parentah Hageng Karaton, gedung Administrasi Tinggi Istana. Selain itu di
halaman ini terdapat bangsal Pecaosan Jaksa, bangsal Pecaosan
Prajurit, bangsal Pecaosan Dhalang dan bangunan lainnya.
Ø Kedhaton
Di sisi selatan kompleks Sri Manganti berdiri Regol
Donopratopo yang menghubungkan dengan kompleks Kedhaton. Di muka gerbang
terdapat sepasang arca raksasa Dwarapala yang dinamakan Cinkorobolo
disebelah timur dan Bolobuto di sebelah barat. Di sisi timur terdapat
pos penjagaan. Pada dinding penyekat sebelah selatan tergantung lambang
kerajaan, Praja Cihna.
Kompleks
kedhaton merupakan inti dari Keraton seluruhnya. Halamannya kebanyakan
dirindangi oleh pohon Sawo kecik (Manilkara kauki; famili Sapotaceae). Kompleks ini setidaknya
dapat dibagi menjadi tiga bagian halaman (quarter). Bagian pertama
adalah Pelataran Kedhaton dan merupakan bagian Sultan. Bagian
selanjutnya adalah Keputren yang merupakan bagian istri
(para istri) dan para puteri Sultan. Bagian terakhir adalah Kesatriyan,
merupakan bagian putra-putra Sultan. Di kompleks ini tidak semua bangunan
maupun bagiannya terbuka untuk umum, terutama dari bangsal Kencono ke arah
barat.
Di bagian
Pelataran Kedhaton, Bangsal Kencono (Golden Pavilion)
yang menghadap ke timur merupakan balairung utama istana.
Di tempat ini dilaksanakan berbagai upacara untuk keluarga kerajaan di samping
untuk upacara kenegaraan. Di keempat sisi bangunan ini terdapat Tratag
Bangsal Kencana yang dahulu digunakan untuk latihan menari. Di sebelah
barat bangsal Kencana terdapat nDalem Ageng Proboyakso yang menghadap ke
selatan. Bangunan yang berdinding kayu ini merupakan pusat dari Istana secara
keseluruhan. Di dalamnya disemayamkan Pusaka Kerajaan
(Royal Heirlooms), Tahta Sultan, dan
Lambang-lambang Kerajaan (Regalia) lainnya.
Di sebelah
utara nDalem Ageng Proboyakso berdiri Gedhong Jene(The Yellow House)sebuah
bangunan tempat tinggal resmi (official residence)
Sultan yang bertahta.
Bangunan yang didominasi warna kuning pada pintu dan
tiangnya dipergunakan sampai Sultan HB IX. Oleh Sultan HB X tempat yang
menghadap arah timur ini dijadikan sebagai kantor pribadi. Sedangkan Sultan
sendiri bertempat tinggal di Keraton Kilen. Di sebelah timur laut
Gedhong Jene berdiri satu-satunya bangunan bertingkat di dalam keraton, Gedhong
Purworetno. Bangunan ini didirikan oleh Sultan HB V dan menjadi kantor
resmi Sultan. Gedung ini menghadap ke arah bangsal Kencana di sebelah
selatannya. Di selatan bangsal Kencana berdiri Bangsal Manis menghadap
ke arah timur. Bangunan ini dipergunakan sebagai tempat perjamuan resmi
kerajaan. Sekarang tempat ini digunakan untuk membersihkan pusaka kerajaan pada
bulan Suro. Bangunan lain di bagian ini adalah Bangsal Kotak, Bangsal
Mandalasana, Gedhong Patehan, Gedhong Danartapura, Gedhong Siliran, Gedhong Sarangbaya, Gedhong Gangsa, dan lain sebagainya. Di tempat ini pula sekarang berdiri
bangunan baru, Gedhong Kaca sebagai museum Sultan HB IX
Ø Keputren.
Keputren merupakan tempat tinggal Permaisuri dan Selir raja. Di
tempat yang memiliki tempat khusus untuk beribadat pada zamannya tinggal para
puteri raja yang belum menikah. Tempat ini merupakan kawasan tertutup sejak
pertama kali didirikan hingga sekarang. Kesatriyan pada zamannya
digunakan sebagai tempat tinggal para putera raja yang belum menikah. Bangunan
utamanya adalah Pendapa Kesatriyan, Gedhong Pringgandani, dan Gedhong
Srikaton. Bagian Kesatriyan ini sekarang dipergunakan sebagai tempat
penyelenggaraan even pariwisata. Di antara Plataran Kedhaton dan Kesatriyan
dahulu merupakan istal kuda yang dikendarai oleh Sultan.
Ø Kamagangan
Di sisi
selatan kompleks Kedhaton terdapat Regol Kamagangan yang menghubungkan
kompleks Kedhaton dengan kompleks Kemagangan. Gerbang ini begitu penting karena
di dinding penyekat sebelah utara terdapat patung dua ekor ular yang
menggambarkan tahun berdirinya Keraton Yogyakarta. Di sisi selatannya pun
terdapat dua ekor ular di kanan dan kiri gerbang yang menggambarkan tahun yang
sama.
Dahulu
kompleks Kemagangan digunakan untuk penerimaan calon pegawai
(abdi-Dalem Magang), tempat berlatih dan ujian
serta apel kesetiaan para abdi-Dalem magang. Bangsal Magangan yang
terletak di tengah halaman besar digunakan sebagai tempat upacara Bedhol Songsong,
pertunjukan wayang kulit yang menandai selesainya seluruh prosesi ritual di
Keraton. Bangunan Pawon Ageng (dapur istana) Sekul Langgen berada di sisi timur dan Pawon Ageng Gebulen berada di sisi barat.
Kedua nama tersebut mengacu pada jenis masakan nasi Langgi dan nasi Gebuli.
Di sudut tenggara dan barat daya terdapat Panti Pareden. Kedua tempat
ini digunakan untuk membuat Pareden/Gunungan pada saat menjelang Upacara
Garebeg. Di sisi timur dan barat terdapat gapura yang masing-masing
merupakan pintu ke jalan Suryoputran dan jalan Magangan.
Di sisi
selatan halaman besar terdapat sebuah jalan yang menghubungkan kompleks
Kamagangan dengan Regol Gadhung Mlati. Dahulu di bagian pertengahan
terdapat jembatan gantung yang melintasi kanal Taman sari yang
menghubungkan dua danau buatan di barat dan timur kompleks Taman Sari. Di
sebelah barat tempat ini terdapat dermaga kecil yang digunakan oleh Sultan
untuk berperahu melintasi kanal dan berkunjung ke Taman Sari.
Ø Kamandhungan Kidul
Di ujung
selatan jalan kecil di selatan kompleks Kamagangan terdapat sebuah gerbang,
Regol Gadhung Mlati, yang menghubungkan kompleks Kamagangan dengan kompleks
Kamandhungan Kidul/selatan. Dinding penyekat gerbang ini memiliki ornamen yang
sama dengan dinding penyekat gerbang Kamagangan. Di kompleks Kamandhungan Kidul
terdapat bangunan utama Bangsal Kamandhungan. Bangsal ini konon berasal
dari pendapa desa Pandak Karang Nangka di daerah Sokawati yang
pernah menjadi tempat Sri Sultan Hamengkubuwono I bermarkas saat perang tahta
III. Di sisi selatan Kamandhungan Kidul terdapat sebuah gerbang, Regol
Kamandhungan, yang menjadi pintu paling selatan dari kompleks cepuri. Di
antara kompleks Kamandhungan Kidul dan Siti Hinggil Kidul terdapat jalan yang
disebut dengan Pamengkang.
Ø Siti Hinggil Kidul
Siti
Hinggil Kidul atau yang sekarang dikenal dengan Sasana Hinggil Dwi Abad
terletak di sebelah utara alun-alun Kidul. Luas kompleks Siti Hinggil Kidul
kurang lebih 500 meter persegi. Permukaan tanah pada bangunan ini ditinggikan
sekitar 150 cm dari permukaan tanah di sekitarnya. Sisi timur-utara-barat dari
kompleks ini terdapat jalan kecil yang disebut dengan Pamengkang, tempat
orang berlalu lalang setiap hari. Dahulu di tengah Siti Hinggil terdapat
pendapa sederhana yang kemudian dipugar pada 1956 menjadi sebuah Gedhong Sasana
Hinggil Dwi Abad sebagai tanda peringatan 200 tahun kota Yogyakarta.
Siti
Hinggil Kidul digunakan pada zaman dulu oleh Sultan untuk menyaksikan para
prajurit keraton yang sedang melakukan gladi bersih upacara Garebeg, tempat
menyaksikan adu manusia dengan macan (rampogan) dan untuk berlatih prajurit perempuan, Langen Kusumo.
Tempat ini pula menjadi awal prosesi perjalanan panjang upacara pemakaman
Sultan yang mangkat ke Imogiri. Sekarang, Siti Hinggil Kidul digunakan untuk
mempergelarkan seni pertunjukan untuk umum khususnya wayang kulit, pameran, dan
sebagainya.
2.
Akademik Angkatan Udara (AAU)
Lokasi Museum
berada di Jl. Kolonel Sugiyono komplek Landasan Udara Adisutjipto Yogyakarta,
10 km kearah timur dari pusat kota atau sebelah timur jembatan layang janti.
Museum ini lebih dikenal dengan nama Museum Dirgantara. Museum ini menempati
area seluas kurang lebih 5 Ha dengan luas bangunan sebesar 7.600 m2. Museum ini
merupakan museum terbesar dan paling lengkap koleksinya yang mengungkap sejarah
keberadaan TNI AU di Indonesia.
Museum ini awal
mulanya berada di Markas Komando Udara V, di Jl. Tanah Abang Bukit
Jakarta dan telah diresmikan pada tanggal 4 April 1969 oleh Panglima Angkatan
Udara Roesmin Noerjadin, namun menilik Yogyakarta mempunyai peranan begitu
penting terhadap perkembangan TNI AU terlebih menjadi pusat latihan bagi para
taruna Akademi Udara atau kawah candradimuka maka Museum Pusat TNI AU ini
dipindahkan ke Yogyakarta digabung dengan Museum Ksatrian AAU (Akademi
Angkatan Udara). Dan pada tanggal 29 juni 1978 bertepatan dengan
Peringatan Hari Bhakti TNI AU Museum ini diresmikan oleh Marsekal Ashadi
Tjahjadi menjadi Museum Pusat TNI AU Dirgantara Mandala.
Dari waktu ke
waktu koleksi museum ini bertambah dan membuat ruangan museum tidak memadai
lagi untuk menyimpan koleksi koleksi tersebut maka museum kemudian dipindahkan
lagi ke Gudang bekas pabrik gula di Wonocatur yang masih berada dalam kawasan
Landasan Udara Adisutjipto. Gudang ini dulunya pada saat zaman Jepang digunakan
sebagai hangar pesawat dan gudang senjata. Peresmian tempat yang baru ini
dilakukan oleh Kepala Staff TNI AU , Marsekal TNI Sukardi pada tanggal 29 Juli
1984.
3. Candi
Prambanan
Candi
ini terletak di desa Prambanan, pulau Jawa, kurang lebih 20 kilometer timur
Yogyakarta, 40 kilometer barat Surakarta dan 120 kilometer selatan Semarang,
persis di perbatasan antara provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa
Yogartayak.Candi Rara Jonggrang terletak di desa Prambanan yang wilayahnya
dibagi antara kabupaten Sleman dan Klaten. Candi ini adalah termasuk Situs
Warisan Dunia UNESCO, candi Hindu terbesar di Indonesia, sekaligus salah satu
candi terindah di Asia Tenggara. Arsitektur bangunan ini berbentuk tinggi dan
ramping sesuai dengan arsitektur Hindu pada umumnya dengan candi Siwa sebagai
candi utama memiliki ketinggian mencapai 47 meter menjulang di tengah kompleks
gugusan candi-candi yang lebih kecil. Sebagai salah satu candi termegah di Asia
Tenggara, candi Prambanan menjadi daya tarik kunjungan wisatawan dari seluruh
dunia. Menurut prasasti Siwagrha, candi ini mulai dibangun pada sekitar tahun
850 masehi oleh Rakai Pikatan, dan terus dikembangkan dan diperluas oleh
Balitung Maha Sambu, di masa kerajaan Medang Mataram.
4.
Malioboro
Konon, ada yang bilang Jalan Malioboro
yang terletak 800 meter di utara Kraton Yogyakarta ini, dulunya dipenuhi
karangan bunga setiap kali kraton melaksanakan perayaan. Lantas jalan ini pun
kini dinamakan malioboro yang dalam bahasa sansekerta berarti “karangan bunga”.
Jalan ini juga seolah merupakan “garis imaginer” yang menghubungkan Kraton,
Tugu, dan Gunung Merapi di sebelah utara. Kawasan malioboro merupakan pertokoan
modern bentukan pemerintah penjajah kolonial Belanda. Keraton Yogyakarta mulai didirikan oleh Sultan Hamengku
Buwono I beberapa bulan pasca Perjanjian Giyanti di tahun 1755. Lokasi keraton
ini konon adalah bekas sebuah pesanggarahan yang bernama Garjitawati.
Pesanggrahan ini digunakan untuk istirahat iring-iringan jenazah raja-raja
Mataram (Kartasura dan Surakarta)
yang akan dimakamkan di Imogiri. Versi lain menyebutkan
lokasi keraton merupakan sebuah mata air, Umbul Pacethokan, yang ada di
tengah hutan Beringan. Sebelum menempati Keraton Yogyakarta, Sultan Hamengku
Buwono I berdiam di Pesanggrahan Ambar Ketawang yang sekarang termasuk
wilayah Kecamatan Gamping Kabupaten Sleman.
Secara
fisik istana para Sultan Yogyakarta memiliki tujuh kompleks inti yaitu Siti
Hinggil Ler (Balairung Utara), Kamandhungan Ler
(Kamandhungan Utara), Sri Manganti,
Kedhaton, Kamagangan, Kamandhungan Kidul
(Kamandhungan Selatan), dan Siti Hinggil Kidul
(Balairung Selatan). Selain itu Keraton Yogyakarta
memiliki berbagai warisan budaya baik yang berbentuk upacara maupun benda-benda
kuno dan bersejarah. Di sisi lain, Keraton Yogyakarta juga merupakan suatu
lembaga adat lengkap dengan pemangku adatnya. Oleh karenanya tidaklah
mengherankan jika nilai-nilai filosofi begitu pula mitologi menyelubungi
Keraton Yogyakarta
5.
Candi Borobudur
Borobudur
adalah nama sebuah candi Buddha
yang terletak di Borobudur, Magelang, Jawa Tengah.
Lokasi candi adalah kurang lebih 100 km di sebelah barat daya Semarang dan 40 km
di sebelah barat laut Yogyakarta. Candi ini didirikan oleh para penganut agama Buddha Mahayana sekitar tahun 800-an Masehi pada masa pemerintahan wangsa Syailendra. Candi
Borobudur terletak di Magelang, Jawa Tengah, sekitar 40 km dari Yogyakarta.
Candi Borobudur memiliki 10 tingkat yang terdiri dari 6 tingkat berbentuk bujur
sangkar, 3 tingkat berbentuk bundar melingkar dan sebuah stupa utama sebagai
puncaknya. Di setiap tingkat terdapat beberapa stupa. Seluruhnya terdapat 72
stupa selain stupa utama. Di setiap stupa terdapat patung Buddha. Sepuluh
tingkat menggambarkan filsafat Buddha yaitu sepuluh tingkatan Bodhisattva yang
harus dilalui untuk mencapai kesempurnaan menjadi Buddha di nirwana.
Kesempurnaan ini dilambangkan oleh stupa utama di tingkat paling atas. Struktur
Borobudur bila dilihat dari atas membentuk struktur mandala yang menggambarkan
kosmologi Buddha dan cara berpikir manusia.
C.
Sejarah
Berdirinya Situs-situs Sejarah
1. Keraton
Yogyakarta
Sultan Hamengkubuwono VIII menerima kunjungan kehormatan
Gubernur Jenderal Hindia Belanda Bijleveld di Keraton Yogyakarta, sekitar tahun
1937.
Keraton Yogyakarta mulai didirikan oleh Sultan Hamengku Buwono I beberapa bulan pasca Perjanjian Giyanti pada tahun 1755. Lokasi keraton
ini konon adalah bekas sebuah pesanggarahan yang bernama Garjitawati.
Pesanggrahan ini digunakan untuk istirahat iring-iringan jenazah raja-raja
Mataram (Kartasura dan Surakarta) yang akan dimakamkan di Imogiri. Versi lain
menyebutkan lokasi keraton merupakan sebuah mata air, Umbul Pacethokan,
yang ada di tengah hutan Beringan. Sebelum menempati Keraton Yogyakarta, Sultan
Hamengku Buwono I berdiam di Pesanggrahan Ambar Ketawang yang sekarang
termasuk wilayah Kecamatan Gamping Kabupaten Sleman.
Secara fisik istana para Sultan Yogyakarta memiliki tujuh
kompleks inti yaitu Siti Hinggil Ler (Balairung Utara), Kamandhungan Ler
(Kamandhungan Utara), Sri Manganti, Kedhaton, Kamagangan,
Kamandhungan Kidul (Kamandhungan Selatan), dan Siti Hinggil Kidul
(Balairung Selatan). Selain itu Keraton Yogyakarta memiliki berbagai warisan
budaya baik yang berbentuk upacara maupun benda-benda kuno dan bersejarah. Di
sisi lain, Keraton Yogyakarta juga merupakan suatu lembaga adat lengkap dengan
pemangku adatnya. Oleh karenanya tidaklah mengherankan jika nilai-nilai
filosofi begitu pula mitologi menyelubungi Keraton Yogyakarta. Dan untuk itulah
pada tahun 1995 Komplek Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dicalonkan untuk
menjadi salah satu Situs Warisan Dunia UNESCO.
Arsitek
istana ini adalah Sultan Hamengku Buwono I sendiri, yang merupakan pendiri dari
Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Keahliannya dalam bidang arsitektur
dihargai oleh ilmuwan berkebangsaan Belanda - Dr. Pigeund dan Dr. Adam yang
menganggapnya sebagai "arsitek dari saudara Pakubuwono II Surakarta".
Bangunan pokok dan desain dasar tata ruang dari keraton berikut desain dasar
landscape kota tua Yogyakarta diselesaikan antara tahun 1755-1756. Bangunan
lain di tambahkan kemudian oleh para Sultan Yogyakarta berikutnya. Bentuk
istana yang tampak sekarang ini sebagian besar merupakan hasil pemugaran dan
restorasi yang dilakukan oleh Sultan Hamengku Buwono VIII (bertahta 1921-1939).
Dahulu
bagian utama istana, dari utara keselatan, dimulai dari Gapura Gladhag di utara
sampai di Plengkung Nirboyo di selatan. Bagian-bagian utama keraton Yogyakarta
dari utara ke selatan adalah: Gapura Gladag-Pangurakan; Kompleks Alun-alun Ler
(Lapangan Utara)dan Mesjid Gedhe
(Masjid Raya Kerajaan); Kompleks Pagelaran, Kompleks Siti
Hinggil Ler, Kompleks Kamandhungan Ler; Kompleks Sri Manganti; Kompleks
Kedhaton; Kompleks Kamagangan; Kompleks Kamandhungan Kidul; Kompleks Siti
Hinggil Kidul (sekarang disebut Sasana Hinggil),
serta Alun-alun Kidul
(Lapangan Selatan) dan Plengkung Nirbaya yang biasa disebut Plengkung
Gadhing.
Bagian-bagian
sebelah utara Kedhaton dengan sebelah selatannya boleh dikatakan simetris.
Sebagian besar bagunan di utara Kompleks Kedhaton menghadap arah utara dan di
sebelah selatan Kompleks Kedhaton menghadap ke selatan. Di daerah Kedhaton
sendiri bangunan kebanyakan menghadap timur atau barat. Namun demikian ada
bangunan yang menghadap ke arah yang lain.
Selain
bagian-bagian utama yang berporos utara-selatan keraton juga memiliki bagian
yang lain. Bagian tersebut antara lain adalah Kompleks Pracimosono, Kompleks
Roto Wijayan, Kompleks Keraton Kilen, Kompleks Taman Sari, dan Kompleks Istana
Putra Mahkota (mula-mula Sawojajar kemudian di nDalem Mangkubumen). Di
sekeliling Keraton dan di dalamnya terdapat sistem pertahanan yang terdiri dari
tembok/dinding Cepuri dan Baluwerti. Di luar dinding tersebut ada beberapa
bangunan yang terkait dengan keraton antara lain Tugu Pal Putih, Gedhong
Krapyak, nDalem Kepatihan (Istana Perdana Menteri), dan Pasar Beringharjo.
2.
Akademik Angkatan Udara (AAU)
1. Sejarah Umum
Akedemi Angkatan Udara (AAU) yang
berkedudukan di Yogyakarta merupakan salah satu lembaga pendidikan militer di
Lingkungan TNI/TNI AU dan masuk dalam kategori lembaga pendidikan tinggi di
lingkungan nasional. Secara organisatoris, AAU merupakan badan pelaksana pusat
Mabesau yang betugas menyelenggarakan pendidikan pertama perwira sukarela
TNI/TNI AU yang bercirikan prajurit pejuang Saptamarga profesional,
berkemampuan akademis potensial dasar matra udara, serta berkesempatan jasmani
untuk menunjang tugas dalam pengabdian selaku bagian dari kekuatan pertahanan
negara.
Seiring dengan tugas tersebut, AAU menyelenggarakan tiga program studi/majoring
meliputi Teknik Aeronautika, Teknik Elektronika dan Teknik Manajemen Industri.
Program pendidikan AAU dilaksanakan selama 4 tahun yang meliputi 1 tahun
program pendidikan integratif di Resimen Chandradimuka Magelang dan 3 tahun di
Akademi Angkatan Udara. Karbol yang lulus dari pendidikan dilantik menjadi
perwira TNI/TNI AU serta dapat mengembangkan kemampuan sejalan dengan
perkembangan teknologi sistem senjata TNI AU. Sejalan dengan pengalaman
penugasan dan pendidikan pengembangan selanjutnya, para lulusan AAU diproyeksi
untuk menjadi pemimpin dalam organisasi TNI/TNI AU.
2. Sejarah Perkembangan AAU
Sejarah
AAU diawali dengan Sekolah Penerbang yang didirikan pada tanggal 15 November
1945 oleh Agustinus Adisutjipto di Pangkalan Udara Maguwo (Lanud Adisutjipto) Yogyakarta.
Pada bulan September 1947, untuk pertama kali TNI AU menerima pemuda-pemuda
lulusan SLA untuk di didik sebagai siswa penerbang. Pendidikan dibekali dengan
dasar kemiliteran di Bukit TInggi dan dilanjutkan dengan pendidikan penerbang
di India. Pada bulan November 1950 sebanyak 60 Kadet TNI AU dikirim ke
California (USA) untuk mengikuti pendidikan penerbang di Taloa.
Dalam perkembangan selanjutnya, dilaksanakan pembangunan gedung sebagai sarana tempat belajar. Bertepatan dengan hari TNI AU tanggal 09 April 1960, diadakan upacara peletakan batu pertama pembangunan Kesatrian Akademi Angkatan Udara di Lanud Adisutjipto. Selanjutnya pada tanggal 26 Juli 1965 Kesatrian AAU beserta Pusaranya diresmikan Menteri Panglima Angkatan Udara. Tanggal 26 Juli tersebut kemudian dinyatakan sebagai hari jadi AAU.
Pada tanggal 16 Desember 1966 AAU bersama-sama dengan lembaga pendidikan ABRI lainnya (AMN, AAL dan AAK) diintegrasikan menjadi Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (AKABRI) dan selanjutnya AAU menjadi Akabri bagian udara. Dalam rangka reorganisasi ABRI dan sesuai kebijakan petinggi ABRI, sejak tanggal 16 Juni 1984 Akabri Bagian Udara kemudian dikembalikan ke jajaran TNI AU dengan nama AKademi TNI Angkatan Udara. Pada tanggal 8 November 1985 Pusara AAU yang berseloka Vidya Karma Vira Paksa diterima kembali oleh pemimpin TNI AU.
Dalam
perjalannya, AAU saat itu masih bernama Akademi TNI AU berupaya agar
pelaksanaan pendidikan selalu dapat mengikuti perkembangan. Salah satu kegiatan
yang ditempuh adalah dengan menerapkan Pola pendidikan 3-1. Pola yang mulai
berlaku pada tahun 1986 itu merupakan pola pendidikan yang tersusun dalam
program 3 tahun pendidikan yang tersusun dalam program 3 tahun pendidikan di
AAU dan 1 tahun dasar kecabangan di Kesatuan-kesatuan TNI AU. Dalam rangka
mengikuti perkembangan pula, sejak tahun 1986 AAU mulai menerapkan Sistem
Kredit Semester (SKS). Sesuai kebutuhan kemudian ditetapkan tiga majoring
penyelenggaraan pendidikan yaitu, Aeronautika, Elektronika dan Administrasi.
Pada tahun 1992 majoring Administrasi disesuaikan menjadi majoring teknik
Industri dan selanjutnya pada tahun 1999 diubah menjadi majoring teknik
Manajemen Industri.
Program
Studi Teknik Aeronautika (AR) merupakan satu-satunya program studi yang
mengajarkan bidang studi teknik Aeronautika (penerbangan) yang berada di dalam
lembaga Politeknik Negeri di Indonesia. Kurikulum pendidikannya diarahkan untuk
menghasilkan lulusan Program Diploma 3 yang memiliki wawasan luas dan
pengetahuan serta keterampilan bidang teknik penerbangan dengan penekanan pada
kompetensi keahlian bidang perawatan mesin dan rangka pesawat udara (airframe
& power-plant maintenance).
Kurikulum disusun
mengacu pada standar Diknas dan standar regulasi penerbangan yang berlaku di
Indonesia khususnya Peraturan Keselamatan Penerbangan Sipil (PKPS) atau Civil
Aviation Safety Regulation (CASR) Part 65 & AC-65-2. Sehingga
lulusannya selain memperoleh ijazah Diploma 3, juga dapat memperoleh sertifikat
dasar yang diperlukan untuk dapat bekerja di dunia industri perawatan pesawat
terbang (Basic Certificate A1 & A4) maupun Type Certificate (Aircraft
Maintenance Engineerr License : AMEL)
Sistem
manajemen pendidikan di Program Studi Teknik Aeronautika dijalankan dengan
mengacu pada statndar Diknas dan standar regulasi penerbangan yang berlaku di
Indonesia, khususnya Peraturan Keselamatan Penerbangan Sipil (PKPS) atau Civil
Aviation Safety Regulation (CASR) Part 147. Dengan persiapan yang telah
dilakukan oleh Program Studi Teknik Aeronautika sebagai Aircraft Maintenance
Training Organization (AMTO) mengacu pada CASR Part 147, direncakanan
Program Studi Teknik Aeronautika akan memperoleh sertifikasi dari pihak
authoritas (Direktorat Sertifikasi Kelaikan Udara: DSKU) pada tahun 2010.
3.
Candi Prambanan
Candi
Prambanan merupakan kelompok candi yang dibangun oleh raja-raja Dinasti Sanjaya
pada abad IX. Ditemukannya tulisan nama Pikatan pada candi menimbulkan pendapat
bahwa candi ini dibangun oleh Rakai Pikatan yang kemudian diselesaikan oleh
Rakai Balitung berdasarkan prasasti berangka 856 M “Prasasti Siwargrarha”
sebagai manifest politik untuk meneguhkan kedudukannya sebagai raja yang
besar.Prasasti Siwargrarha tahun 856 M yang dikeluarkan oleh Rakai Pikatan
tidak diketahui asalnya, kini disimpan di Museum Nasional Jakarta. Prasasti ini
mulai menarik perhatian setelah J.G. De Casparis berhasil menguraikan dan
membahasnya. Menurut Casparis ada 3 hal penting dalam prasati tersebut, yaitu:
Bahasanya merupakan contoh tertua prasasti yang berangka tahun yang ditulis
dalam puisi Jawa kuna; Isinya memuat bahan-bahan atau peristiwa-peristiwa
sejarah yang sangat penting dari pertengahan abas ke IX M; Didalamnya terdapat
uraian yang rinci tentang suatu “gugusan candi”, sesuatu yang unik dalam
epigrafi Jawa kuna.Dari uraian diatas yang menarik adalah peristiwa sejarah dan
uraian tentang pembangunan gugusan candi. Peristiwa sejarah yang dimaksud
adalah peperangan antara Balaputeradewa dari keluarga Sailendra melawan Rakai
Pikatan dari keluarga Sanjaya.Balaputeradewa kalah dan melarikan diri ke
Sumatera. Konsolidasi keluarga raja Rakai Pikatan itu kemudian menjadi
permulaan dari masa baru yang perlu diresmikan dengan pembangunan suatu gugusan
candi besar.
Candi Prambanan
dikenal kembali saat seorang Belanda bernama C.A.Lons mengunjungi Jawa pada
tahun 1733 dan melaporkan tentang adanya reruntuhan candi yang ditumbuhi semak
belukar. Usaha pertama kali untuk menyelamatkan Candi Prambanan dilakukan oleh
Ijzerman pada tahun 1885 dengan membersihkan bilik-bilik candi dari reruntuhan
batu. Pada tahun 1902, baru dimulai pekerjaan pembinaan yang dipimpin oleh Van
Erp untuk candi Siwa, candi Wisnu dan candi Brahma. Perhatian terhadap candi
Prambanan terus berkembang. Pada tahun 1933 berhasil disusun percobaan Candi
Brahma dan Wisnu. Setelah mengalami berbagai hambatan, pada tanggal 23 Desember
1953 candi Siwa selesai dipugar. Candi Brahma mulai dipugar tahun 1978 dan
diresmikan 1987. Candi Wisnu mulai dipugar tahun 1982 dan selesai tahun 1991.
Kegiatan pemugaran berikutnya dilakukan terhadap 3 buah candi perwara yang
berada di depan candi Siwa, Wisnu dan Brahma besarta 4 candi kelir dan 4 candi
disudut / patok.
Kompleks candi Prambanan dibangun
oleh Raja-raja Wamca (Dinasty) Sanjaya pada abad ke-9.Candi Prambanan merupakan
kompleks percandian dengan candi induk menghadap ke timur, dengan bentuk secara
keseluruhan menyerupai gunungan pada wayang kulit setinggi 47 meter. Agama
Hindu mengenal Tri Murti yang terdiri dari Dewa Brahma sebagai Sang Pencipta,
Dewa Wisnu sebagai Sang Pemelihara, Dewa Shiwa sebagai Sang Perusak. Bilik
utama dari candi induk ditempati Dewa Shiwa sebagai Maha Dewa sehingga dapat
disimpulkan candi. Model arsitektur rekonstruksi kompleks
candi Prambanan, aslinya terdapat 240 candi berdiri di kompleks ini.
Pintu masuk ke
kompleks bangunan ini terdapat di keempat arah penjuru mata angin, akan tetapi
arah hadap bangunan ini adalah ke arah timur, maka pintu masuk utama candi ini
adalah gerbang timur. Kompleks candi Prambanan terdiri dari:
1.
3 Candi Trimurti:
candi Siwa, Wisnu, dan Brahma
2.
3 Candi Wahana:
candi Nandi, Garuda, dan Angsa
3.
2 Candi Apit:
terletak antara barisan candi-candi Trimurti dan candi-candi Wahana di sisi
utara dan selatan
4.
4 Candi Kelir:
terletak di 4 penjuru mata angin tepat di balik pintu masuk halaman dalam atau
zona inti
5.
4 Candi Patok:
terletak di 4 sudut halaman dalam atau zona inti
6.
224 Candi Perwara:
tersusun dalam 4 barisan konsentris dengan jumlah candi dari barisan terdalam
hingga terluar: 44, 52, 60, dan 68
Maka terdapat total 240
candi di kompleks Prambanan.
Aslinya terdapat 240
candi besar dan kecil di kompleks Candi Prambanan. Tetapi kini hanya tersisa 18
candi; yaitu 8 candi utama dan 8 candi kecil di zona inti serta 2 candi
perwara. Banyak candi perwara yang belum dipugar, dari 224 candi perwara hanya
2 yang sudah dipugar, yang tersisa hanya tumpukan batu yang berserakan.
Kompleks candi Prambanan terdiri atas tiga zona; pertama adalah zona luar,
kedua adalah zona tengah yang terdiri atas ratusan candi, ketiga adalah zona
dalam yang merupakan zona tersuci tempat delapan candi utama dan delapan kuil
kecil.
Penampang denah
kompleks candi Prambanan adalah berdasarkan lahan bujur sangkar yan terdiri
atas tiga bagian atau zona, masing-masing halaman zona ini dibatasi tembok batu
andesit. Zona terluar ditandai dengan pagar bujur sangkar yang masing-masing
sisinya sepanjang 390 meter, dengan orientasi Timur Laut - Barat Daya. Kecuali
gerbang selatan yang masih tersisa, bagian gerbang lain dan dinding candi ini
sudah banyak yang hilang. Fungsi dari halaman luar ini secara pasti belum
diketahui; kemungkinan adalah lahan taman suci, atau kompleks asrama Brahmana
dan murid-muridnya. Mungkin dulu bangunan yang berdiri di halaman terluar ini
terbuat dari bahan kayu, sehingga sudah lapuk dan musnah tak tersisa.
Candi Prambanan
adalah salah satu candi Hindu terbesar di Asia Tenggara
selain Angkor Wat.
Tiga candi utama disebut Trimurti dan dipersembahkan kepadantiga dewa
utama Trimurti:
Siwa
sang Penghancur, Wisnu
sang Pemelihara dan Brahma
sang Pencipta. Di kompleks candi ini Siwa lebih diutamakan dan lebih
dimuliakan dari dua dewa Trimurti lainnya. Candi Siwa sebagai bangunan utama
sekaligus yang terbesar dan tertinggi, menjulang setinggi 47 meter.
Pada tahun
1733, candi ini ditemukan oleh CA. Lons seorang berkebangsaan Belanda, kemudian
pada tahun 1855 Jan Willem IJzerman mulai membersihkan dan memindahkan beberapa batu dan
tanah dari bilik candi. beberapa saat kemudian Isaäc Groneman melakukan pembongkaran besar-besaran dan batu-batu candi
tersebut ditumpuk secara sembarangan di sepanjang Sungai Opak. Pada tahun 1902-1903, Theodoor van Erp memelihara bagian yang rawan runtuh. Pada tahun 1918-1926, dilanjutkan oleh Jawatan Purbakala (Oudheidkundige Dienst) di
bawah P.J. Perquin dengan cara yang lebih metodis dan sistematis, sebagaimana
diketahui para pendahulunya melakukan pemindahan dan pembongkaran beribu-ribu
batu tanpa memikirkan adanya usaha pemugaran kembali.Pada tahun 1926
dilanjutkan De Haan hingga akhir hayatnya pada tahun 1930. Pada tahun 1931
digantikan oleh Ir. V.R. van Romondt hingga pada tahun 1942 dan kemudian
diserahkan kepemimpinan renovasi itu kepada putra Indonesia dan itu berlanjut
hingga tahun 1993.
Banyak
bagian candi yang direnovasi, menggunakan batu baru, karena batu-batu asli
banyak yang dicuri atau dipakai ulang di tempat lain. Sebuah candi hanya akan
direnovasi apabila minimal 75% batu asli masih ada. Oleh karena itu, banyak
candi-candi kecil yang tak dibangun ulang dan hanya tampak fondasinya saja.
Sekarang,
candi ini adalah sebuah situs yang dilindungi oleh UNESCO mulai tahun 1991. Antara lain hal ini berarti bahwa kompleks ini
terlindung dan memiliki status istimewa, misalkan juga dalam situasi peperangan.
Tiga candi
utama disebut Trisakti dan dipersembahkan kepada sang hyang Trimurti: Batara Siwa sang Penghancur, Batara Wisnu sang Pemelihara dan Batara Brahma sang Pencipta.
Candi Siwa
di tengah-tengah, memuat empat ruangan, satu ruangan di setiap arah mata angin. Sementara yang pertama memuat sebuah arca Batara Siwa setinggi tiga meter, tiga lainnya mengandung
arca-arca yang ukuran lebih kecil, yaitu arca Durga, sakti atau istri Batara Siwa, Agastya, gurunya, dan Ganesa, putranya.
Arca Durga
juga disebut sebagai Rara atau Lara/Loro Jongrang (dara langsing)
oleh penduduk setempat. Untuk lengkapnya bisa melihat di artikel Loro Jonggrang.
Dua candi
lainnya dipersembahkan kepada Batara Wisnu, yang menghadap ke arah utara dan satunya
dipersembahkan kepada Batara Brahma, yang menghadap ke arah selatan. Selain itu
ada beberapa candi kecil lainnya yang dipersembahkan kepada sang lembu Nandini, wahana Batara Siwa, sang Angsa, wahana Batara Brahma, dan sang Garuda, wahana Batara Wisnu.
Lalu relief di sekeliling dua puluh tepi candi menggambarkan wiracarita Ramayana. Versi
yang digambarkan di sini berbeda dengan Kakawin Ramayana Jawa Kuna, tetapi mirip dengan cerita Ramayana yang diturunkan melalui tradisi
lisan. Selain itu kompleks candi ini dikelilingi oleh lebih dari 250 candi yang
ukurannya berbeda-beda dan disebut perwara. Di dalam kompleks candi Prambanan terdapat juga museum yang menyimpan
benda sejarah, termasuk batu Lingga batara
Siwa, sebagai lambang kesuburan.
Arsitektur
Arsitektur candi Prambanan berpedoman
kepada tradisi arsitektur Hindu yang berdasarkan kitab Wastu Sastra. Denah
candi megikuti pola mandala, sementara bentuk candi yang tinggi
menjulang merupakan ciri khas candi Hindu. Prambanan memiliki nama asli Siwagrha
dan dirancang menyerupai rumah Siwa, yaitu mengikuti bentuk gunung suci Mahameru, tempat para dewa bersemayam. Seluruh
bagian kompleks candi mengikuti model alam semesta menurut konsep kosmologi
Hindu, yakni terbagi atas beberapa lapisan ranah, alam atau Loka.
Seperti Borobudur, Prambanan juga memiliki tingkatan
zona candi, mulai dari yang kurang suci hingga ke zona yang paling suci.
Meskipun berbeda nama, tiap konsep Hindu ini memiliki sandingannya dalam konsep
Buddha yang pada hakikatnya hampir sama. Baik lahan denah secara horisontal
maupun vertikal terbagi atas tiga zona:
·
Bhurloka
(dalam Buddhisme: Kamadhatu),
adalah ranah terendah makhluk yang fana; manusia, hewan, juga makhluk halus dan
iblis. Di ranah ini manusia masih terikat dengn hawa nafsu, hasrat, dan cara
hidup yang tidak suci. Halaman terlar dan kaki candi melambangkan ranah bhurloka.
·
Bhuwarloka
(dalam Buddhisme: Rupadhatu),
adalah alam tegah, tempat orang suci, resi,
pertapa, dan dewata rendahan. Di alam ini manusia mulai
melihat cahaya kebenaran. Halaman tengah dan tubuh candi melambangkan ranah bhuwarloka.
·
Swarloka
(dalam Buddhisme: Arupadhatu),
adalah ranah tertinggi sekaligus tersuci tempat para dewa
bersemayam, juga disebut swargaloka. Halaman dalam dan
atap candi melambangkan ranah swarloka. Atap candi-candi di kompleks
Prambanan dihiasi dengan kemuncak mastaka berupa ratna (Sanskerta: permata), bentuk ratna
Prambanan merupakan modifikasi bentuk wajra
yang melambangkan intan atau halilintar. Dalam arsitektur Hindu Jawa kuno, ratna
adalah sandingan Hindu untuk stupa Buddha, yang berfungsi sebagai
kemuncak atau mastaka candi.
Pada saat pemugaran,
tepat di bawah arca Siwa di bawah ruang utama candi Siwa terdapat sumur yang
didasarnya terdapat pripih (kotak batu). Sumur ini sedalam 5,75 meter
dan peti batu pripih ini ditemukan diatas timbunan arang kayu, tanah, dan
tulang belulang hewan korban. Di dalam pripih ini terdapat benda-benda suci
seperti lembaran emas dengan aksara bertuliskan Waruna
(dewa laut) dan Parwata
(dewa gunung). Dalam peti batu ini terdapat lembaran tembaga bercampur arang,
abu, dan tanah, 20 keping uang kuno, beberapa butir permata, kaca, potongan
emas, dan lembaran perak, cangkang kerang, dan 12 lembaran emas (5 diantaranya
berbentuk kura-kura, ular naga (kobra), padma,
altar, dan telur).
Relief
Relief di Prambanan menampilkan Shinta
tengah diculik Rahwana
yang menunggangi raksasa bersayap, sementara burung Jatayu
di sebelah kiri atas mencoba menolong Shinta.
Panil khas Prambanan, singa di dalam
relung diapit dua pohon kalpataru yang masing-masing
diapit oleh sapasang kinnara-kinnari
atau sepasang margasatwa.
Ramayana dan Krishnayana
Candi ini dihiasi relief
naratif yang menceritakan epos Hindu; Ramayana dan Krishnayana. Relif berkisah ini diukirkan
pada dinding sebelah dalam pagar langkan sepanjang lorong galeri yang mengelilingi
tiga candi utama. Relief ini dibaca dari kanan ke kiri dengan gerakan searah
jarum jam mengitari candi. Hal ini sesuai dengan ritual pradaksina, yaitu ritual mengelilingi
bangunan suci searah jarum jam oleh peziarah. Kisah Ramayana bermula di sisi
timur candi Siwa dan dilanjutkan ke candi Brahma temple. Pada pagar langkan
candi Wisnu terdapat relief naratif Krishnayana yang menceritakan kehidupan Krishna sebagai salah satu awatara Wishnu.
Relief Ramayana
menggambarkan bagaimana Shinta, istri Rama,
diculik oleh Rahwana. Panglima bangsa wanara
(kera), Hanuman, datang ke Alengka untuk
membantu Rama mencari Shinta. Kisah ini juga ditampilkan dalam Sendratari
Ramayana, yaitu pagelaran wayang orang Jawa yang dipentaskan secara
rutin di panggung terbuka Trimurti setiap malam bulan purnama. Latar belakang
panggung Trimurti adalah pemandangan megah tiga candi utama yang disinari
cahaya lampu.
Lokapala, Brahmana, dan Dewata
Di seberang panel
naratif relief, di atas tembok tubuh candi di sepanjang galeri dihiasi
arca-arca dan relief yang menggambarkan para dewata
dan resi brahmana. Arca dewa-dewa lokapala, dewa surgawi penjaga penjuru
mata angin dapat ditemukan di candi Siwa. Sementara arca para brahmana penyusun
kitab Weda terdapat di candi Brahma. Di
candi Wishnu terdapat arca dewata yang diapit oleh dua apsara
atau bidadari kahyangan.
Panil Prambanan: Singa dan Kalpataru
Di dinding luar
sebelah bawah candi dihiasi oleh barisan relung (ceruk) yang menyimpan arca
singa diapit oleh dua panil yang menggambarkan pohon hayat kalpataru. Pohon suci ini dalam
mitologi Hindu-Buddha dianggap pohon yang dapat memenuhi harapan dan kebutuhan
manusia. Di kaki pohon Kalpataru ini diapit oleh pasangan kinnara-kinnari (hewan ajaib bertubuh burung
berkepala manusia), atau pasangan hewan lainnya, seperti burung, kijang, domba,
monyet, kuda, gajah, dan lain-lain. Pola singa diapit kalpataru adalah pola
khas yang hanya ditemukan di Prambanan, karena itulah disebut "Panil
Prambanan".
Museum Prambanan
Di dalam kompleks
taman purbakala candi Prambanan terdapat sebuah museum yang menyimpan berbagai
temuan benda bersejarah purbakala. Museum ini terletak di sisi utara Candi
Prambanan, antara candi Prambanan dan candi Lumbung. Museum ini dibangun dalam
arsitektur tradisional Jawa, berupa rumah joglo.
Koleksi yang tersimpan di museum ini adalah berbagai batu-batu candi dan
berbagai arca yang ditemukan di sekitar
lokasi candi Prambanan; misalnya arca lembu Nandi, resi Agastya, Siwa, Wishnu,
Garuda, dan arca Durga Mahisasuramardini, termasuk pula batu Lingga Siwa, sebagai lambang
kesuburan.
Replika harta
karun emas temuan
Wonoboyo yang
terkenal itu, berupa mangkuk berukir Ramayana, gayung, tas, uang, dan perhiasan
emas, juga dipamekan di museum ini. Temuan Wonoboyo yang asli kini disimpan di Museum
Nasional Indonesia
di Jakarta. Replika model arsitektur beberapa candi seperti Prambanan,
Borobudur, dan Plaosan juga dipamerkan di museum ini. Museum ini dapat dimasuki
secara gratis oleh pengunjung taman purbakala Prambanan karena tiket masuk
taman wisata sudah termasuk museum ini. Pertunjukan audio visual mengenai candi
Prambanan juga ditampilkan disini.
Candi lain di sekitar Prambanan
Candi Sewu, candi Buddha yang
masuk dalam lingkungan Taman Purbalaka Prambanan, dikaitkan dengan legenda Rara
Jonggrang
Dataran Kewu atau dataran Prambanan adalah
dataran subur yang membentang antara lereng selatan kaki gunung Merapi di utara dan jajaran
pegunungan kapur Sewu di selatan, dekat
perbatasan Yogyakarta dan Klaten,
Jawa Tengah. Selain candi Prambanan, lembah dan dataran di sekitar Prambanan
kaya akan peninggalan arkeologi candi-candi
Buddha paling awal dalam sejarah Indonesia, serta candi-candi Hindu. Candi
Prambanan dikelilingi candi-candi Buddha. Masih di dalam kompleks taman wisata
purbakala, tak jauh di sebelah utara candi Prambanan terdapat reruntuhan candi Lumbung dan candi Bubrah. Lebih ke utara lagi terdapat
candi Sewu, candi Buddha terbesar kedua
setelah Borobudur. Lebih jauh ke timur terdapat candi Plaosan. Di arah barat Prambanan
terdapat candi
Kalasan dan candi Sari. Sementara di arah selatan
terdapat candi
Sojiwan, Situs Ratu Baka yang terletak di atas
perbukitan, serta candi
Banyunibo, candi Barong, dan candi Ijo.
Dengan
ditemukannya begitu banyak peninggalan bersejarah berupa candi-candi yang hanya
berjarak beberapa ratus meter satu sama lain, menunjukkan bahwa kawasan di
sekitar Prambanan pada zaman dahulu kala adalah kawasan penting. Kawasan yang
memiliki nilai penting baik dalam hal keagamaan, politik, ekonomi, dan
kebudayaan. Diduga pusat kerajaan Medang Mataram terletak disuatu tempat di
dataran ini. Kekayaan situs arkeologi, serta kecanggihan dan keindahan
candi-candinya menjadikan Dataran Prambanan tak kalah dengan kawasan
bersejarah terkenal lainnya di Asia Tenggara, seperti situs arkeologi kota
purbakala Angkor, Bagan,
dan Ayutthaya.
4. Malioboro
Dalam
bahasa Sansekerta, kata “malioboro” bermakna karangan bunga. itu mungkin ada
hubungannya dengan masa lalu ketika Keraton mengadakan acara besar maka jalan
malioboro akan dipenuhi dengan bunga. Kata malioboro juga berasal dari nama
seorang kolonial Inggris yang bernama “Marlborough” yang pernah tinggal disana
pada tahun 1811-1816 M. pendirian jalan malioboro bertepatan dengan pendirian
keraton Yogyakarta (Kediaman Sultan).
Perwujudan
awal yang merupakan bagian dari konsep kota di Jawa, Jalan malioboro ditata
sebagai sumbu imaginer utara-selatan yang berkorelasi dengan Keraton ke Gunung
merapi di bagian utara dan laut Selatan sebagai simbol supranatural. Di era
kolonial (1790-1945) pola perkotaan itu terganggu oleh Belanda yang membangun
benteng Vredeburg (1790) di ujung selatan jalan Malioboro. Selain membangun
benteng belanda juga membangun Dutch Club (1822), the Dutch
Governor’s Residence (1830), Java Bank dan kantor Pos untuk mempertahankan
dominasi mereka di Yogyakarta. Perkembangan pesat terjadi pada masa itu yang
disebabkan oleh perdaganagan antara orang belanda dengan orang cina. Dan juga
disebabkan adanya pembagian tanah di sub-segmen Jalan Malioboro oleh Sultan
kepada masyarakat cina dan kemudian dikenal sebagagai Distrik Cina.
Perkembangan
pada masa itu didominasi oleh Belanda dalam membangun fasilitas untuk
meningkatkan perekonomian dan kekuatan mereka, Seperti pembangunan stasiun
utama (1887) di Jalan Malioboro, yang secara fisik berhasil membagi jalan
menjadi dua bagian. Sementara itu, jalan Malioboro memiliki peranan
penting di era kemerdekaan (pasca-1945), sebagai orang-orang Indonesia berjuang
untuk membela kemerdekaan mereka dalam pertempuran yang terjadi Utara-Selatan
sepanjang jalan.
Sekarang ini merupakan jalan pusat kawasan wisatawan
terbesar di Yogyakarta, dengan sejarah arsitektur kolonial Belanda yang
dicampur dengan kawasan komersial Cina dan kontemporer. Trotoar di kedua sisi
jalan penuh sesak dengan warung-warung kecil yang menjual berbagai macam barang
dagangan. Di malam hari beberapa restoran terbuka, disebut lesehan, beroperasi
sepanjang jalan. Jalan itu selama bertahun-tahun menjadi jalan dua arah, tetapi
pada 1980-an telah menjadi salah satu arah saja, dari jalur kereta api ke
selatan sampai Pasar Beringharjo. Hotel jaman Belanda terbesar dan tertua jaman
itu, Hotel Garuda, terletak di ujung utara jalan di sisi Timur, berdekatan
dengan jalur kereta api. Juga terdapat rumah kompleks bekas era Belanda,
Perdana Menteri, kepatihan yang kini telah menjadi kantor pemerintah provinsi.
Malioboro
juga menjadi sejarah perkembangan seni sastra Indonesia. Dalam Antologi Puisi
Indonesia di Yogyakarta 1945-2000 memberi judul “MALIOBORO” untuk buku
tersebut, buku yang berisi 110 penyair yang pernah tinggal di yogyakarta selama
kurun waktu lebih dari setengah abad. Pada tahun 1970-an, Malioboro tumbuh
menjadi pusat dinamika seni budaya Jogjakarta. Jalan Malioboro menjadi
‘panggung’ bagi para “seniman jalanan” dengan pusatnya gedung Senisono. Namun
daya hidup seni jalanan ini akhirnya terhenti pada 1990-an setelah gedung
Senisono ditutup.
5.
Candi Borobudur
Borobudur
dibangun sekitar tahun 800 Masehi atau abad ke-9. Candi Borobudur dibangun oleh
para penganut agama Buddha Mahayana pada masa pemerintahan Wangsa
Syailendra. Candi ini dibangun pada masa kejayaan dinasti Syailendra.
Pendiri Candi Borobudur yaitu Raja Samaratungga yang berasal dari wangsa atau
dinasti Syailendra. Kemungkinan candi ini dibangun sekitar tahun 824 M dan
selesai sekitar menjelang tahun 900-an Masehi pada masa pemerintahan Ratu
Pramudawardhani yang adalah putri dari Samaratungga. Sedangkan arsitek yang
berjasa membangun candi ini menurut kisah turun-temurun bernama Gunadharma.
Kata Borobudur
sendiri berdasarkan bukti tertulis pertama yang ditulis oleh Sir Thomas
Stamford Raffles, Gubernur Jendral Britania Raya di Jawa, yang memberi nama
candi ini. Tidak ada bukti tertulis yang lebih tua yang memberi nama Borobudur
pada candi ini. Satu-satunya dokumen tertua yang menunjukkan keberadaan candi
ini adalah kitab Nagarakretagama, yang ditulis oleh Mpu Prapanca pada tahun
1365. Di kitab tersebut ditulis bahwa candi ini digunakan sebagai tempat
meditasi penganut Buddha.
Arti nama Borobudur yaitu "biara
di perbukitan", yang berasal dari kata "bara" (candi atau biara)
dan "beduhur" (perbukitan atau tempat tinggi) dalam bahasa Sansekerta.
Karena itu, sesuai dengan arti nama Borobudur, maka tempat ini sejak dahulu
digunakan sebagai tempat ibadat penganut Buddha. Banyak teori yang berusaha menjelaskan nama candi ini. Salah satunya menyatakan bahwa
nama ini kemungkinan berasal dari kata Sambharabhudhara, yaitu artinya
"gunung" (bhudara)
di mana di lereng-lerengnya terletak teras-teras. Selain itu terdapat beberapa etimologi rakyat
lainnya. Misalkan kata borobudur berasal dari ucapan "para
Buddha" yang karena pergeseran bunyi menjadi borobudur. Penjelasan
lain ialah bahwa nama ini berasal dari dua kata "bara" dan
"beduhur". Kata bara konon berasal dari kata vihara, sementara ada pula penjelasan lain di mana bara
berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya kompleks candi atau biara dan beduhur
artinya ialah "tinggi", atau mengingatkan dalam bahasa Bali yang
berarti "di atas". Jadi maksudnya ialah sebuah biara atau asrama yang berada di tanah tinggi.
Sejarawan J.G. de Casparis memperkirakan bahwa Bhūmi Sambhāra Bhudhāra dalam
bahasa sansekerta yang berarti "Bukit himpunan kebajikan sepuluh tingkatan
boddhisattwa", adalah nama asli Borobudur.
Candi
ini selama berabad-abad tidak lagi digunakan. Kemudian karena letusan gunung
berapi, sebagian besar bangunan Candi Borobudur tertutup tanah vulkanik. Selain
itu, bangunan juga tertutup berbagai pepohonan dan semak belukar selama
berabad-abad. Kemudian bangunan candi ini mulai terlupakan pada zaman Islam
masuk ke Indonesia sekitar abad ke-15.
Pada tahun 1814 saat
Inggris menduduki Indonesia, Sir Thomas Stamford Raffles mendengar adanya
penemuan benda purbakala berukuran raksasa di desa Bumisegoro daerah Magelang. Karena
minatnya yang besar terhadap sejarah Jawa, maka Raffles segera memerintahkan
H.C. Cornelius, seorang insinyur Belanda, untuk menyelidiki lokasi penemuan
yang saat itu berupa bukit yang dipenuhi semak belukar.
Cornelius
dibantu oleh sekitar 200 pria menebang pepohonan dan menyingkirkan semak
belukar yang menutupi bangunan raksasa tersebut. Karena mempertimbangkan
bangunan yang sudah rapuh dan bisa runtuh, maka Cornelius melaporkan kepada
Raffles penemuan tersebut termasuk beberapa gambar. Karena penemuan itu,
Raffles mendapat penghargaan sebagai orang yang memulai pemugaran Candi
Borobudur dan mendapat perhatian dunia. Pada tahun 1835, seluruh area candi
sudah berhasil digali. Candi ini terus dipugar pada masa penjajahan Belanda.
Setelah
Indonesia merdeka, pada tahun 1956, pemerintah Indonesia meminta bantuan UNESCO
untuk meneliti kerusakan Borobudur. Lalu pada tahun 1963, keluar keputusan
resmi pemerintah Indonesia untuk melakukan pemugaran Candi Borobudur dengan
bantuan dari UNESCO. Namun pemugaran ini baru benar-benar mulai dilakukan pada
tanggal 10 Agustus 1973. Proses pemugaran baru selesai pada tahun 1984. Sejak
tahun 1991, Candi Borobudur ditetapkan sebagai World Heritage Site atau Warisan
Dunia oleh UNESCO.
Di keempat sisi candi
terdapat pintu gerbang dan tangga ke tingkat di atasnya seperti sebuah
piramida. Hal ini menggambarkan filosofi Buddha yaitu semua kehidupan berasal
dari bebatuan. Batu kemudian menjadi pasir, lalu menjadi tumbuhan, lalu menjadi
serangga, kemudian menjadi binatang liar, lalu binatang peliharaan, dan
terakhir menjadi manusia. Proses ini disebut sebagai reinkarnasi. Proses
terakhir adalah menjadi jiwa dan akhirnya masuk ke nirwana. Setiap tahapan
pencerahan pada proses kehidupan ini berdasarkan filosofi Buddha digambarkan
pada relief dan patung pada seluruh Candi Borobudur.
Bangunan raksasa ini
hanya berupa tumpukan balok batu raksasa yang memiliki ketinggian total 42
meter. Setiap batu disambung tanpa menggunakan semen atau perekat. Batu-batu
ini hanya disambung berdasarkan pola dan ditumpuk. Bagian dasar Candi Borobudur
berukuran sekitar 118 m pada setiap sisi. Batu-batu yang digunakan kira-kira
sebanyak 55.000 meter kubik. Semua batu tersebut diambil dari sungai di sekitar
Candi Borobudur. Batu-batu ini dipotong lalu diangkut dan disambung dengan pola
seperti permainan lego. Semuanya tanpa menggunakan perekat atau semen.
Sedangkan relief
mulai dibuat setelah batu-batuan tersebut selesai ditumpuk dan disambung.
Relief terdapat pada dinding candi. Candi Borobudur memiliki 2670 relief yang
berbeda. Relief ini dibaca searah putaran jarum jam. Relief ini menggambarkan
suatu cerita yang cara membacanya dimulai dan diakhiri pada pintu gerbang di
sebelah timur. Hal ini menunjukkan bahwa pintu gerbang utama Candi Borobudur
menghadap timur seperti umumnya candi Buddha lainnya.
Di masa
lalu, beberapa patung Buddha bersama dengan 30 batu dengan relief, dua patung
singa, beberapa batu berbentuk kala, tangga dan gerbang dikirimkan kepada Raja Thailand, Chulalongkorn yang mengunjungi Hindia Belanda (kini Indonesia) pada tahun 1896 sebagai hadiah dari pemerintah Hindia Belanda ketika
itu.
Borobudur
tidak memiliki ruang-ruang pemujaan seperti candi-candi lain. Yang ada ialah
lorong-lorong panjang yang merupakan jalan sempit. Lorong-lorong dibatasi
dinding mengelilingi candi tingkat demi tingkat. Di lorong-lorong inilah umat
Buddha diperkirakan melakukan upacara berjalan kaki mengelilingi candi ke arah
kanan. Bentuk bangunan tanpa ruangan dan struktur bertingkat-tingkat ini diduga
merupakan perkembangan dari bentuk punden berundak, yang merupakan bentuk arsitektur asli dari masa
prasejarah Indonesia.
Tahapan pembangunan Borobudur
Para ahli
arkeologi menduga bahwa rancangan awal Borobudur adalah stupa tunggal yang
sangat besar memahkotai puncaknya. Diduga massa stupa raksasa yang luar biasa
besar dan berat ini membahayakan tubuh dan kaki candi sehingga arsitek
perancang Borobudur memutuskan untuk membongkar stupa raksasa ini dan diganti
menjadi tiga barisan stupa kecil dan satu stupa induk seperti sekarang. Berikut
adalah perkiraan tahapan pembangunan Borobudur:
1.
Tahap pertama:
Masa pembangunan Borobudur tidak diketahui pasti (diperkirakan kurun 750
dan 850
M).
Borobudur dibangun di atas bukit alami, bagian atas bukit diratakan dan
pelataran datar diperluas. Sesungguhnya Borobudur tidak seluruhnya terbuat dari
batu andesit, bagian bukit tanah dipadatkan dan ditutup struktur batu sehingga
menyerupai cangkang yang membungkus bukit tanah. Sisa bagian bukit ditutup
struktur batu lapis demi lapis. Pada awalnya dibangun tata susun bertingkat.
Sepertinya dirancang sebagai piramida berundak, tetapi kemudian diubah. Sebagai
bukti ada tata susun yang dibongkar. Dibangun tiga undakan pertama yang menutup
struktur asli piramida berundak.
2.
Tahap kedua:
Penambahan dua undakan persegi, pagar langkan dan satu undak melingkar yang
diatasnya langsung dibangun stupa tunggal yang sangat besar.
3.
Tahap ketiga:
Terjadi perubahan rancang bangun, undak atas lingkaran dengan stupa tunggal
induk besar dibongkar dan diganti tiga undak lingkaran. Stupa-stupa yang lebih
kecil dibangun berbaris melingkar pada pelataran undak-undak ini dengan satu
stupa induk yang besar di tengahnya. Karena alasan tertentu pondasi diperlebar,
dibangun kaki tambahan yang membungkus kaki asli sekaligus menutup relief
Karmawibhangga. Para arkeolog menduga bahwa Borobudur semula dirancang berupa
stupa tunggal yang sangat besar memahkotai batur-batur teras bujur sangkar.
Akan tetapi stupa besar ini terlalu berat sehingga mendorong struktur bangunan
condong bergeser keluar. Patut diingat bahwa inti Borobudur hanyalah bukit
tanah sehingga tekanan pada bagian atas akan disebarkan ke sisi luar bagian
bawahnya sehingga Borobudur terancam longsor dan runtuh. Karena itulah
diputuskan untuk membongkar stupa induk tunggal yang besar dan menggantikannya
dengan teras-teras melingkar yang dihiasi deretan stupa kecil berterawang dan
hanya satu stupa induk. Untuk menopang agar dinding candi tidak longsor maka
ditambahkan struktur kaki tambahan yang membungkus kaki asli. Struktur ini
adalah penguat dan berfungsi bagaikan ikat pinggang yang mengikat agar tubuh
candi tidak ambrol dan runtuh keluar, sekaligus menyembunyikan relief
Karmawibhangga pada bagian Kamadhatu
4.
Tahap keempat:
Ada perubahan kecil seperti penyempurnaan relief, penambahan pagar langkan
terluar, perubahan tangga dan pelengkung atas gawang pintu, serta pelebaran
ujung kaki.
Borobudur diterlantarkan
Borobudur
tersembunyi dan terlantar selama berabad-abad terkubur di bawah lapisan tanah
dan debu vulkanik yang kemudian ditumbuhi pohon dan semak belukar sehingga
Borobudur kala itu benar-benar menyerupai bukit. Alasan sesungguhnya penyebab
Borobudur ditinggalkan hingga kini masih belum diketahui. Tidak diketahui
secara pasti sejak kapan bangunan suci ini tidak lagi menjadi pusat ziarah umat
Buddha. Pada kurun 928 dan 1006, Raja Mpu
Sindok
memindahkan ibu kota kerajaan Medang
ke kawasan Jawa
Timur
setelah serangkaian letusan gunung berapi; tidak dapat dipastikan apakah faktor
inilah yang menyebabkan Borobudur ditinggalkan, akan tetapi beberapa sumber
menduga bahwa sangat mungkin Borobudur mulai ditinggalkan pada periode ini.
Bangunan suci ini disebutkan secara samar-samar sekitar tahun 1365, oleh Mpu
Prapanca
dalam naskahnya Nagarakretagama yang ditulis pada masa
kerajaan Majapahit. Ia menyebutkan adanya
"Wihara di Budur". Selain itu Soekmono (1976) juga mengajukan
pendapat populer bahwa candi ini mulai benar-benar ditinggalkan sejak penduduk
sekitar beralih keyakinan kepada Islam pada abad ke-15.
Monumen ini tidak
sepenuhnya dilupakan, melalui dongeng rakyat Borobudur beralih dari sebagai
bukti kejayaan masa lampau menjadi kisah yang lebih bersifat tahayul yang
dikaitkan dengan kesialan, kemalangan dan penderitaan. Dua Babad Jawa yang
ditulis abad ke-18 menyebutkan nasib buruk yang dikaitkan dengan monumen ini.
Menurut Babad Tanah Jawi (Sejarah Jawa), monumen ini merupakan faktor
fatal bagi Mas Dana, pembangkang yang memberontak kepada Pakubuwono I, raja Kesultanan Mataram pada 1709. Disebutkan
bahwa bukit "Redi Borobudur" dikepung dan para pemberontak dikalahkan
dan dihukum mati oleh raja. Dalam Babad Mataram (Sejarah Kerajaan
Mataram), monumen ini dikaitkan dengan kesialan Pangeran Monconagoro, putra
mahkota Kesultanan Yogyakarta yang mengunjungi monumen ini
pada 1757. Meskipun terdapat tabu yang melarang orang untuk
mengunjungi monumen ini, "Sang Pangeran datang dan mengunjungi satria
yang terpenjara di dalam kurungan (arca buddha yang terdapat di dalam stupa
berterawang)". Setelah kembali ke keraton, sang Pangeran jatuh sakit dan
meninggal dunia sehari kemudian. Dalam kepercayaan Jawa pada masa Mataram
Islam, reruntuhan bangunan percandian dianggap sebagai tempat bersemayamnya roh
halus dan dianggap wingit (angker) sehingga dikaitkan dengan kesialan
atau kemalangan yang mungkin menimpa siapa saja yang mengunjungi dan mengganggu
situs ini. Meskipun secara ilmiah diduga, mungkin setelah situs ini tidak
terurus dan ditutupi semak belukar, tempat ini pernah menjadi sarang wabah
penyakit seperti demam berdarah atau malaria.
Penemuan kembali
Foto pertama Borobudur oleh Isidore
van Kinsbergen (1873) setelah monumen ini
dibersihkan dari tanaman yang tumbuh pada tubuh candi. Bendera Belanda tampak
pada stupa utama candi.
Teras tertinggi setelah restorasi Van
Erp. Stupa utama memiliki menara dengan chattra (payung) susun tiga.
Setelah Perang Inggris-Belanda dalam memperebutkan pulau
Jawa, Jawa dibawah pemerintahan Britania (Inggris) pada kurun 1811 hingga 1816.
Thomas Stamford Raffles ditunjuk sebagai Gubernur
Jenderal, dan ia memiliki minat istimewa terhadap sejarah Jawa. Ia mengumpulkan
artefak-artefak antik kesenian Jawa
kuno dan membuat catatan mengenai sejarah dan kebudayaan Jawa yang
dikumpulkannya dari perjumpaannya dengan rakyat setempat dalam perjalanannya
keliling Jawa. Pada kunjungan inspeksinya di Semarang tahun 1814, ia dikabari
mengenai adanya sebuah monumen besar jauh di dalam hutan dekat desa Bumisegoro.
Karena berhalangan dan tugasnya sebagai Gubernur Jenderal, ia tidak dapat
pergi sendiri untuk mencari bangunan itu dan mengutus H.C. Cornelius, seorang
insinyur Belanda, untuk menyelidiki keberadaan bangunan besar ini. Dalam dua
bulan, Cornelius beserta 200 bawahannya menebang pepohonan dan semak belukar
yang tumbuh di bukit Borobudur dan membersihkan lapisan tanah yang mengubur
candi ini. Karena ancaman longsor, ia tidak dapat menggali dan membersihkan
semua lorong. Ia melaporkan penemuannya kepada Raffles termasuk menyerahkan
berbagai gambar sketsa candi Borobudur. Meskipun penemuan ini hanya menyebutkan
beberapa kalimat, Raffles dianggap berjasa atas penemuan kembali monumen ini,
serta menarik perhatian dunia atas keberadaan monumen yang pernah hilang ini.
Hartmann, seorang
pejabat pemerintah Hindia Belanda di Keresidenan Kedu meneruskan kerja
Cornelius dan pada 1835 akhirnya seluruh bagian bangunan telah tergali dan
terlihat. Minatnya terhadap Borobudur lebih bersifat pribadi daripada tugas
kerjanya. Hartmann tidak menulis laporan atas kegiatannya; secara khusus,
beredar kabar bahwa ia telah menemukan arca buddha besar di stupa utama. Pada
1842, Hartmann menyelidiki stupa utama meskipun apa yang ia temukan tetap
menjadi misteri karena bagian dalam stupa kosong.
Pemerintah Hindia
Belanda
menugaskan F.C. Wilsen, seorang insinyur pejabat Belanda bidang teknik, ia
mempelajari monumen ini dan menggambar ratusan sketsa relief. J.F.G. Brumund
juga ditunjuk untuk melakukan penelitian lebih terperinci atas monumen ini,
yang dirampungkannya pada 1859. Pemerintah berencana menerbitkan artikel
berdasarkan penelitian Brumund yang dilengkapi sketsa-sketsa karya Wilsen, tetapi
Brumund menolak untuk bekerja sama. Pemerintah Hindia Belanda kemudian
menugaskan ilmuwan lain, C. Leemans, yang mengkompilasi monografi berdasarkan sumber dari
Brumund dan Wilsen. Pada 1873, monograf pertama dan penelitian lebih detil atas
Borobudur diterbitkan, dilanjutkan edisi terjemahannya dalam bahasa Perancis
setahun kemudian. Foto pertama monumen ini diambil pada 1873 oleh
ahli engrafi Belanda, Isidore van Kinsbergen.
Penghargaan atas
situs ini tumbuh perlahan. Untuk waktu yang cukup lama Borobudur telah menjadi
sumber cenderamata dan pendapatan bagi pencuri, penjarah candi, dan kolektor
"pemburu artefak". Kepala arca Buddha adalah bagian yang paling
banyak dicuri. Karena mencuri seluruh arca buddha terlalu berat dan besar, arca
sengaja dijungkirkan dan dijatuhkan oleh pencuri agar kepalanya terpenggal.
Karena itulah kini di Borobudur banyak ditemukan arca Buddha tanpa kepala.
Kepala Buddha Borobudur telah lama menjadi incaran kolektor benda antik dan
museum-museum di seluruh dunia. Pada 1882, kepala inspektur artefak budaya
menyarankan agar Borobudur dibongkar seluruhnya dan reliefnya dipindahkan ke
museum akibat kondisi yang tidak stabil, ketidakpastian dan pencurian yang
marak di monumen. Akibatnya, pemerintah menunjuk Groenveldt, seorang
arkeolog, untuk menggelar penyelidikan menyeluruh atas situs dan
memperhitungkan kondisi aktual kompleks ini; laporannya menyatakan bahwa
kekhawatiran ini berlebihan dan menyarankan agar bangunan ini dibiarkan utuh
dan tidak dibongkar untuk dipindahkan.
Bagian candi
Borobudur dicuri sebagai benda cinderamata, arca dan ukirannya diburu kolektor
benda antik. Tindakan penjarahan situs bersejarah ini bahkan salah satunya
direstui Pemerintah Kolonial. Pada tahun 1896, Raja
Thailand, Chulalongkorn ketika mengunjungi Jawa di Hindia
Belanda
(kini Indonesia) menyatakan minatnya untuk memiliki beberapa bagian dari
Borobudur. Pemerintah Hindia Belanda mengizinkan dan menghadiahkan delapan
gerobak penuh arca dan bagian bangunan Borobudur. Artefak yang diboyong ke
Thailand antara lain; lima arca Buddha bersama dengan 30 batu dengan relief,
dua patung singa, beberapa batu berbentuk kala, tangga dan gerbang, dan arca
penjaga dwarapala yang pernah berdiri di Bukit Dagi — beberapa
ratus meter di barat laut Borobudur. Beberapa artefak ini, yaitu arca singa dan
dwarapala, kini dipamerkan di Museum Nasional Bangkok.
Pemugaran
Borobudur kembali
menarik perhatian pada 1885, ketika Yzerman, Ketua Masyarakat Arkeologi di
Yogyakarta, menemukan
kaki tersembunyi. Foto-foto yang
menampilkan relief pada kaki tersembunyi dibuat pada kurun 1890–1891. Penemuan
ini mendorong pemerintah Hindia Belanda untuk mengambil langkah menjaga
kelestarian monumen ini. Pada 1900, pemerintah membentuk komisi yang terdiri
atas tiga pejabat untuk meneliti monumen ini: Brandes, seorang sejarawan seni,
Theodoor van Erp, seorang insinyur yang juga anggota tentara Belanda, dan Van
de Kamer, insinyur ahli konstruksi bangunan dari Departemen Pekerjaan Umum.
Pada 1902, komisi
ini mengajukan proposal tiga langkah rencana pelestarian Borobudur kepada
pemerintah. Pertama, bahaya yang mendesak harus segera diatasi dengan mengatur
kembali sudut-sudut bangunan, memindahkan batu yang membahayakan batu lain di
sebelahnya, memperkuat pagar langkan pertama, dan memugar beberapa relung,
gerbang, stupa dan stupa utama. Kedua, memagari halaman candi, memelihara dan
memperbaiki sistem drainase dengan memperbaiki lantai dan pancuran. Ketiga,
semua batuan lepas dan longgar harus dipindahkan, monumen ini dibersihkan
hingga pagar langkan pertama, batu yang rusak dipindahkan dan stupa utama
dipugar. Total biaya yang diperlukan pada saat itu ditaksir sekitar 48.800 Gulden.
Pemugaran
dilakukan pada kurun 1907 dan 1911, menggunakan prinsip anastilosis dan dipimpin Theodor van Erp.
Tujuh bulan pertama dihabiskan untuk menggali tanah di sekitar monumen untuk
menemukan kepala buddha yang hilang dan panel batu. Van Erp membongkar dan
membangun kembali tiga teras melingkar dan stupa di bagian puncak. Dalam
prosesnya Van Erp menemukan banyak hal yang dapat diperbaiki; ia mengajukan
proposal lain yang disetujui dengan anggaran tambahan sebesar 34.600 gulden.
Van Erp melakukan rekonstruksi lebih lanjut, ia bahkan dengan teliti
merekonstruksi chattra (payung batu susun tiga) yang memahkotai puncak
Borobudur. Pada pandangan pertama, Borobudur telah pulih seperti pada masa
kejayaannya. Akan tetapi rekonstruksi chattra hanya menggunakan sedikit
batu asli dan hanya rekaan kira-kira. Karena dianggap tidak dapat dipertanggungjawabkan
keasliannya, Van Erp membongkar sendiri bagian chattra. Kini mastaka
atau kemuncak Borobudur chattra susun tiga tersimpan di Museum
Karmawibhangga Borobudur.
Akibat anggaran
yang terbatas, pemugaran ini hanya memusatkan perhatian pada membersihkan
patung dan batu, Van Erp tidak memecahkan masalah drainase dan tata air. Dalam
15 tahun, dinding galeri miring dan relief menunjukkan retakan dan kerusakan.
Van Erp menggunakan beton yang menyebabkan terbentuknya kristal garam
alkali dan kalsium hidroksida yang menyebar ke seluruh bagian bangunan dan
merusak batu candi. Hal ini menyebabkan masalah sehingga renovasi lebih lanjut
diperlukan.
Pemugaran
kecil-kecilan dilakukan sejak itu, tetapi tidak cukup untuk memberikan
perlindungan yang utuh. Pada akhir 1960-an, Pemerintah Indonesia telah mengajukan permintaan
kepada masyarakat internasional untuk pemugaran besar-besaran demi melindungi
monumen ini. Pada 1973, rencana induk untuk memulihkan Borobudur dibuat. Pemerintah
Indonesia dan UNESCO mengambil langkah untuk perbaikan menyeluruh
monumen ini dalam suatu proyek besar antara tahun 1975 dan 1982. Pondasi
diperkokoh dan segenap 1.460 panel relief dibersihkan. Pemugaran ini dilakukan
dengan membongkar seluruh lima teras bujur sangkar dan memperbaiki sistem
drainase dengan menanamkan saluran air ke dalam monumen. Lapisan saringan dan
kedap air ditambahkan. Proyek kolosal ini melibatkan 600 orang untuk memulihkan
monumen dan menghabiskan biaya total sebesar 6.901.243 dollar AS. Setelah
renovasi, UNESCO memasukkan Borobudur ke dalam daftar Situs Warisan Dunia pada tahun 1991. Borobudur
masuk dalam kriteria Budaya (i) "mewakili mahakarya kretivitas manusia
yang jenius", (ii) "menampilkan pertukaran penting dalam nilai-nilai
manusiawi dalam rentang waktu tertentu di dalam suatu wilayah budaya di dunia,
dalam pembangunan arsitektur dan teknologi, seni yang monumental, perencanaan
tata kota dan rancangan lansekap", dan (vi) "secara langsung dan
jelas dihubungkan dengan suatu peristiwa atau tradisi yang hidup, dengan
gagasan atau dengan kepercayaan, dengan karya seni artistik dan karya sastra
yang memiliki makna universal yang luar biasa".
Konsep rancang bangun
Pada hakikatnya
Borobudur adalah sebuah stupa yang bila dilihat dari atas membentuk pola Mandala besar. Mandala adalah pola
rumit yang tersusun atas bujursangkar dan lingkaran konsentris yang
melambangkan kosmos atau alam semesta yang lazim
ditemukan dalam Buddha aliran Wajrayana-Mahayana. Sepuluh pelataran yang
dimiliki Borobudur menggambarkan secara jelas filsafat mazhab Mahayana yang secara bersamaan
menggambarkan kosmologi yaitu konsep alam semesta, sekaligus tingkatan
alam pikiran dalam ajaran Buddha. Bagaikan sebuah kitab, Borobudur
menggambarkan sepuluh tingkatan Bodhisattva yang harus dilalui untuk
mencapai kesempurnaan menjadi Buddha. Dasar denah
bujur sangkar berukuran 123 m
(400 kaki) pada tiap sisinya. Bangunan
ini memiliki sembilan teras, enam teras terbawah berbentuk bujur sangkar dan
tiga teras teratas berbentuk lingkaran.
Pada tahun 1885,
secara tidak disengaja ditemukan struktur tersembunyi di kaki Borobudur. Kaki
tersembunyi ini terdapat relief yang 160 diantaranya adalah berkisah tentang Karmawibhangga.
Pada relief panel ini terdapat ukiran aksara yang merupakan petunjuk bagi
pengukir untuk membuat adegan dalam gambar relief. Kaki asli ini
tertutup oleh penambahan struktur batu yang membentuk pelataran yang cukup
luas, fungsi sesungguhnya masih menjadi misteri. Awalnya diduga bahwa
penambahan kaki ini untuk mencegah kelongsoran monument. Teori lain mengajukan
bahwa penambahan kaki ini disebabkan kesalahan perancangan kaki asli, dan tidak
sesuai dengan Wastu Sastra,
kitab India mengenai arsitektur dan tata kota. Apapun alasan
penambahan kaki ini, penambahan dan pembuatan kaki tambahan ini dilakukan
dengan teliti dengan mempertimbangkan alasan keagamaan, estetik, dan teknis.
Ketiga tingkatan ranah
spiritual dalam kosmologi Buddha adalah:
Ø Kamadhatu
Bagian kaki
Borobudur melambangkan Kamadhatu, yaitu dunia yang masih
dikuasai oleh kama atau "nafsu rendah". Bagian ini sebagian
besar tertutup oleh tumpukan batu yang diduga dibuat untuk memperkuat
konstruksi candi. Pada bagian kaki asli yang tertutup struktur tambahan ini
terdapat 160 panel cerita Karmawibhangga yang kini tersembunyi. Sebagian
kecil struktur tambahan di sudut tenggara disisihkan sehingga orang masih dapat
melihat beberapa relief pada bagian ini. Struktur batu andesit kaki tambahan
yang menutupi kaki asli ini memiliki volume 13.000 meter kubik.
Ø Rupadhatu
Empat undak teras
yang membentuk lorong keliling yang pada dindingnya dihiasi galeri relief oleh
para ahli dinamakan Rupadhatu. Lantainya berbentuk persegi. Rupadhatu
terdiri dari empat lorong dengan 1.300 gambar relief. Panjang relief seluruhnya
2,5 km dengan 1.212 panel berukir dekoratif. Rupadhatu adalah dunia yang
sudah dapat membebaskan diri dari nafsu, tetapi masih terikat oleh rupa
dan bentuk. Tingkatan ini melambangkan alam antara yakni, antara alam
bawah dan alam atas. Pada bagian Rupadhatu ini patung-patung Buddha
terdapat pada ceruk atau relung dinding di atas pagar langkan atau selasar.
Aslinya terdapat 432 arca Buddha di dalam relung-relung terbuka di sepanjang
sisi luar di pagar langkan. Pada pagar langkan terdapat sedikit
perbedaan rancangan yang melambangkan peralihan dari ranah Kamadhatu menuju
ranah Rupadhatu; pagar langkan paling rendah dimahkotai ratna, sedangkan empat
tingkat pagar langkan diatasnya dimahkotai stupika (stupa kecil). Bagian
teras-teras bujursangkar ini kaya akan hiasan dan ukiran relief.
Ø Arupadhatu
Berbeda dengan
lorong-lorong Rupadhatu yang kaya akan relief, mulai lantai kelima hingga
ketujuh dindingnya tidak berelief. Tingkatan ini dinamakan Arupadhatu
(yang berarti tidak berupa atau tidak berwujud). Denah lantai berbentuk
lingkaran. Tingkatan ini melambangkan alam atas, di mana manusia sudah
bebas dari segala keinginan dan ikatan bentuk dan rupa, namun belum mencapai nirwana. Pada pelataran lingkaran
terdapat 72 dua stupa kecil berterawang yang tersusun dalam tiga barisan yang
mengelilingi satu stupa besar sebagai stupa induk. Stupa kecil berbentuk
lonceng ini disusun dalam 3 teras lingkaran yang masing-masing berjumlah 32,
24, dan 16 (total 72 stupa). Dua teras terbawah stupanya lebih besar dengan
lubang berbentuk belah ketupat, satu teras teratas stupanya sedikit lebih kecil
dan lubangnya berbentuk kotak bujur sangkar. Patung-patung Buddha ditempatkan
di dalam stupa yang ditutup berlubang-lubang seperti dalam kurungan. Dari luar
patung-patung itu masih tampak samar-samar. Rancang bangun ini dengan cerdas
menjelaskan konsep peralihan menuju keadaan tanpa wujud, yakni arca Buddha itu
ada tetapi tak terlihat.
Tingkatan tertinggi yang
menggambarkan ketiadaan wujud yang sempurna dilambangkan berupa stupa yang
terbesar dan tertinggi. Stupa digambarkan polos tanpa lubang-lubang. Di dalam
stupa terbesar ini pernah ditemukan patung Buddha yang tidak sempurna atau
disebut juga Buddha yang tidak rampung, yang disalahsangkakan sebagai patung
'Adibuddha', padahal melalui penelitian lebih lanjut tidak pernah ada patung di
dalam stupa utama, patung yang tidak selesai itu merupakan kesalahan pemahatnya
pada zaman dahulu. Menurut kepercayaan patung yang salah dalam proses
pembuatannya memang tidak boleh dirusak. Penggalian arkeologi yang dilakukan di
halaman candi ini menemukan banyak patung seperti ini. Stupa utama yang dibiarkan
kosong diduga bermakna kebijaksanaan tertinggi, yaitu kasunyatan, kesunyian dan
ketiadaan sempurna dimana jiwa manusia sudah tidak terikat hasrat, keinginan,
dan bentuk serta terbebas dari lingkaran samsara.
Struktur bangunan
Ukiran
raksasa sebagai kepala pancuran drainase
Penampang candi Borobudur terdapat
rasio perbandingan 4:6:9 antara bagian kaki, tubuh, dan kepala
Tangga Borobudur mendaki melalui
serangkaian gapura berukir Kala-Makara
Sekitar 55.000
meter kubik batu andesit diangkut dari tambang batu
dan tempat penatahan untuk membangun monumen ini. Batu ini dipotong
dalam ukuran tertentu, diangkut menuju situs dan disatukan tanpa menggunakan
semen. Struktur Borobudur tidak memakai semen sama sekali, melainkan sistem interlock
(saling kunci) yaitu seperti balok-balok lego
yang bisa menempel tanpa perekat. Batu-batu ini disatukan dengan tonjolan dan
lubang yang tepat dan muat satu sama lain, serta bentuk "ekor
merpati" yang mengunci dua blok batu. Relief dibuat di lokasi setelah
struktur bangunan dan dinding rampung.
Monumen ini
dilengkapi dengan sistem drainase yang cukup baik untuk wilayah
dengan curah hujan yang tinggi. Untuk mencegah genangan dan kebanjiran, 100
pancuran dipasang disetiap sudut, masing-masing dengan rancangan yang unik berbentuk
kepala raksasa kala atau makara.
Borobudur amat
berbeda dengan rancangan candi lainnya, candi ini tidak dibangun di atas permukaan
datar, tetapi di atas bukit alami. Akan tetapi teknik pembangunannya serupa
dengan candi-candi lain di Jawa. Borobudur tidak memiliki ruang-ruang pemujaan
seperti candi-candi lain. Yang ada ialah lorong-lorong panjang yang merupakan
jalan sempit. Lorong-lorong dibatasi dinding mengelilingi candi tingkat demi
tingkat. Secara umum rancang bangun Borobudur mirip dengan piramida berundak. Di lorong-lorong
inilah umat Buddha diperkirakan melakukan upacara berjalan kaki mengelilingi
candi ke arah kanan. Borobudur mungkin pada awalnya berfungsi lebih sebagai
sebuah stupa, daripada kuil atau candi. Stupa memang
dimaksudkan sebagai bangunan suci untuk memuliakan Buddha. Terkadang stupa
dibangun sebagai lambang penghormatan dan pemuliaan kepada Buddha. Sementara
kuil atau candi lebih berfungsi sebagai rumah ibadah. Rancangannya yang rumit
dari monumen ini menunjukkan bahwa bangunan ini memang sebuah bangunan tempat
peribadatan. Bentuk bangunan tanpa ruangan dan struktur teras
bertingkat-tingkat ini diduga merupakan perkembangan dari bentuk punden
berundak, yang merupakan bentuk arsitektur asli dari masa prasejarah
Indonesia.
Menurut legenda
setempat arsitek perancang Borobudur bernama Gunadharma, sedikit yang diketahui
tentang arsitek misterius ini. Namanya lebih berdasarkan dongeng dan
legenda Jawa dan bukan berdasarkan prasasti bersejarah. Legenda Gunadharma
terkait dengan cerita rakyat mengenai perbukitan Menoreh yang bentuknya
menyerupai tubuh orang berbaring. Dongeng lokal ini menceritakan bahwa tubuh
Gunadharma yang berbaring berubah menjadi jajaran perbukitan Menoreh, tentu
saja legenda ini hanya fiksi dan dongeng belaka.
Perancangan
Borobudur menggunakan satuan ukur tala, yaitu panjang wajah manusia
antara ujung garis rambut di dahi hingga ujung dagu, atau jarak jengkal antara
ujung ibu jari dengan ujung jari kelingking ketika telapak tangan dikembangkan
sepenuhnya. Tentu saja satuan ini bersifat relatif dan sedikit
berbeda antar individu, akan tetapi satuan ini tetap pada monumen ini.
Penelitian pada 1977 mengungkapkan rasio perbandingan 4:6:9 yang ditemukan di
monumen ini. Arsitek menggunakan formula ini untuk menentukan dimensi yang
tepat dari suatu fraktal geometri perulangan
swa-serupa dalam rancangan Borobudur. Rasio matematis ini juga
ditemukan dalam rancang bangun Candi Mendut dan Pawon di dekatnya. Arkeolog
yakin bahwa rasio 4:6:9 dan satuan tala memiliki fungsi dan makna
penanggalan, astronomi, dan kosmologi. Hal yang sama juga berlaku di candi Angkor Wat di Kamboja
Struktur bangunan
dapat dibagi atas tiga bagian: dasar (kaki), tubuh, dan puncak. Dasar berukuran
123×123 m (403.5 × 403.5 ft) dengan tinggi 4 m
(13 kaki). Tubuh candi
terdiri atas lima batur teras bujur sangkar yang makin mengecil di atasnya.
Teras pertama mundur 7 m (23 kaki) dari ujung dasar teras. Tiap
teras berikutnya mundur 2 m
(6.6 kaki), menyisakan lorong sempit
pada tiap tingkatan. Bagian atas terdiri atas tiga teras melingkar, tiap
tingkatan menopang barisan stupa berterawang yang disusun secara konsentris.
Terdapat stupa utama yang terbesar di tengah; dengan pucuk mencapai ketinggian
35 m (110 kaki) dari permukaan tanah. Tinggi
asli Borobudur termasuk chattra (payung susun tiga) yang kini dilepas adalah
42 m (140 kaki) . Tangga terletak pada
bagian tengah keempat sisi mata angin yang membawa pengunjung menuju bagian
puncak monumen melalui serangkaian gerbang pelengkung yang dijaga 32 arca
singa. Gawang pintu gerbang dihiasi ukiran Kala
pada puncak tengah lowong pintu dan ukiran makara
yang menonjol di kedua sisinya. Motif Kala-Makara lazim ditemui dalam arsitektur
pintu candi di Jawa. Pintu utama terletak di sisi timur, sekaligus titik awal
untuk membaca kisah relief. Tangga ini lurus terus tersambung dengan tangga
pada lereng bukit yang menghubungkan candi dengan dataran di sekitarnya.
Relief
Seni pahat Borobudur memiliki
kehalusan gaya dan citarasa estetik yang anggun
Borobudur
Pada dinding candi
di setiap tingkatan — kecuali pada teras-teras Arupadhatu — dipahatkan
panel-panel bas-relief yang dibuat dengan sangat teliti dan halus. Relief
dan pola hias Borobudur bergaya naturalis dengan proporsi yang ideal dan selera
estetik yang halus. Relief-relief ini sangat indah, bahkan dianggap sebagai
yang paling elegan dan anggun dalam kesenian dunia Buddha. Relief Borobudur
juga menerapkan disiplin senirupa India, seperti berbagai sikap tubuh yang
memiliki makna atau nilai estetis tertentu. Relief-relief berwujud manusia
mulia seperti pertapa, raja dan wanita bangsawan, bidadari atapun makhluk yang mencapai
derajat kesucian laksana dewa, seperti tara dan boddhisatwa, seringkali
digambarkan dengan posisi tubuh tribhanga. Posisi tubuh ini disebut "lekuk
tiga" yaitu melekuk atau sedikit condong pada bagian leher, pinggul, dan
pergelangan kaki dengan beban tubuh hanya bertumpu pada satu kaki, sementara
kaki yang lainnya dilekuk beristirahat. Posisi tubuh yang luwes ini menyiratkan
keanggunan, misalnya figur bidadari Surasundari yang berdiri dengan sikap tubuh
tribhanga sambil menggenggam teratai bertangkai panjang.
Relief Borobudur
menampilkan banyak gambar; seperti sosok manusia baik bangsawan, rakyat jelata,
atau pertapa, aneka tumbuhan dan hewan, serta menampilkan bentuk bangunan vernakular
tradisional Nusantara.
Borobudur tak ubahnya bagaikan kitab yang merekam berbagai aspek kehidupan
masyarakat Jawa kuno. Banyak arkeolog meneliti kehidupan masa lampau di Jawa
kuno dan Nusantara abad ke-8 dan ke-9 dengan mencermati dan merujuk ukiran
relief Borobudur. Bentuk rumah panggung, lumbung, istana dan candi, bentuk
perhiasan, busana serta persenjataan, aneka tumbuhan dan margasatwa, serta alat
transportasi, dicermati oleh para peneliti. Salah satunya adalah relief terkenal
yang menggambarkan Kapal
Borobudur.
Kapal kayu bercadik khas Nusantara ini menunjukkan kebudayaan bahari
purbakala. Replika bahtera yang dibuat berdasarkan relief Borobudur tersimpan
di Museum
Samudra Raksa
yang terletak di sebelah utara Borobudur.
Relief-relief ini
dibaca sesuai arah jarum jam atau disebut mapradaksina dalam bahasa Jawa Kuna yang berasal dari bahasa Sanskerta daksina yang artinya
ialah timur. Relief-relief ini
bermacam-macam isi ceritanya, antara lain relief-relief cerita jātaka.
Pembacaan cerita-cerita relief ini senantiasa dimulai, dan berakhir pada pintu
gerbang sisi timur di setiap tingkatnya, mulainya di sebelah kiri dan berakhir
di sebelah kanan pintu gerbang itu. Maka secara nyata bahwa sebelah timur
adalah tangga naik yang sesungguhnya (utama) dan menuju puncak candi, artinya bahwa
candi menghadap ke timur meskipun sisi-sisi lainnya serupa benar.
D. Benda-Benda Pusaka Peninggalan Situs
Sejarah yang dikunjungi
1.
Keraton Yogyakarta
Pusaka di
Keraton Yogyakarta disebut sebagai Kagungan Dalem (harfiah=milik Raja)
yang dianggap memiliki kekuatan magis atau peninggalan keramat yang diwarisi
dari generasi-generasi awal. Kekuatan dan kekeramatan dari pusaka memiliki
hubungan dengan asal usulnya, keadaan masa lalu dari pemilik sebelumnya atau
dari perannya dalam kejadian bersejarah.
Dalam
lingkungan Keraton, pusaka dapat dalam bentuk baik benda nyata ataupun pesan
yang terdapat dalam sesuatu yang lebih abstrak seperti penampilan. Baik nilai
sejarah spiritual dan fungsional berdekatan dengan Sultan dan kebijaksanaanya.
Pusaka merupakan sebuah aspek budaya Keraton Yogyakarta. Sebagai sebuah lembaga
yang terdiri dari Sultan dan keluarganya, termasuk keluarga besarnya yang
disebut dengan trah, dan pejabat/pegawai kerajaan/istana, Keraton
memiliki peraturan mengenai hak resmi atas orang yang akan mewarisi benda
pusaka. Pusaka memiliki kedudukan yang kuat dan orang luar selain di atas tidak
dapat dengan mudah mewarisinya. Keberadaaannya sebanding dengan Keraton itu
sendiri.
Benda-benda
pusaka keraton memiliki nama tertentu. Sebagai contoh adalah Kyai Permili,
sebuah kereta kuda yang digunakan untuk mengangkut abdi-Dalem Manggung
yang membawa Regalia. Selain nama pusaka tersebut mempunyai gelar dan
kedudukan tertentu, tergantung jauh atau dekatnya hubungan dengan Sultan.
Seluruh pusaka yang menjadi inventaris Sultan (Sultan’s property) dalam
jabatannya diberi gelar Kyai (K) jika bersifat maskulin atau Nyai
(Ny) jika bersifat feminin, misalnya K Danumaya sebuah guci tembikar, yang
konon berasal dari Palembang, yang berada di Pemakaman Raja-raja di Imogiri.
Apabila
pusaka tersebut sedang/pernah digunakan oleh Sultan, maupun dipinjamkan kepada
orang tertentu karena jabatannya diberi tambahan gelar Kangjeng sehingga
selengkapnya bergelar Kangjeng Kyai (KK) atau Kangjeng Nyai
(KNy). Sebagai contoh adalah Kangjeng Nyai Jimat, sebuah kereta kuda
yang dipergunakan oleh Sultan HB I - Sultan HB IV sebagai kendaraan resmi
(sebanding dengan mobil dengan plat nomor polisi Indonesia 1 sebagai kendaran
resmi Presiden Indonesia) dan merupakan kereta terkeramat dari Keraton
Yogyakarta.
Beberapa
pusaka yang menempati kedudukan tertinggi dan dipercaya memiliki kekuatan
paling magis mendapat tambahan gelar Ageng sehingga selengkapnya
bergelar Kangjeng Kyai Ageng (KKA). Salah satu pusaka tersebut adalah KKA
Pleret, sebuah tombak yang konon pernah digunakan oleh Panembahan Senopati
untuk membunuh Arya Penangsang.
Tombak ini kini menjadi pusaka terkeramat di keraton Yogyakarta dan mendapat
kehormatan setara dengan kehormatan Sultan sendiri. Penghormatan terhadap KKA
Pleret ini telah dimulai sejak Panembahan Senopati.
Wujud benda
pusaka di Keraton Yogyakarta bermacam-macam. Benda-benda tersebut dapat
dikelompokkan menjadi: (1) Senjata tajam; (2) Bendera dan Panji kebesaran; (3)
Perlengkapan Kebesaran; (4) Alat-alat musik; (5) Alat-alat transportasi; (6)
Manuskrip, babad (kronik) berbagai karya tulis lain; (7) Perlengkapan
sehari-hari; dan (8) Lain-lain. Pusaka dalam bentuk senjata tajam dapat berupa
tombak (KK Gadatapan dan KK Gadawedana, pendamping KKA Pleret);
keris (KKA Kopek); Wedhung, (KK Pengarab-arab, untuk eksekusi
mati narapidana dengan pemenggalan kepala) ataupun pedang (KK Mangunoneng,
pedang yang digunakan untuk memenggal seorang pemberontak, Tumenggung
Mangunoneng).
Pusaka
dalam bentuk bendera/panji misalnya KK Pujo dan KK Puji. Pusaka
yang digunakan sebagai perlengkapan kebesaran terdiri dari satu set regalia
kerajaan yang disebut KK Upocoro dan satu set lambang kebesaran
Sultan yang disebut KK Ampilan serta perlengkapan baju kebesaran
(mahkota, sumping [hiasan telinga], baju kebesaran, akik [cicin
dengan mata dari batu mulia] dan lain sebagainya). Pusaka dalam kelompok
alat-alat musik dapat berupa set gamelan (misal KK Kancil Belik) maupun
alat musik tersendiri (misal cymbal KK Udan Arum dan KK Tundhung
Mungsuh).
Pusaka
dalam golongan alat-alat transportasi dapat berupa kereta kuda maupun yang lain
(misal tandu yang pernah digunakan oleh Sultan HB I, KK Tandu Lawak, dan
pelana kuda yang disebut KK Cekathak). Benda pusaka dalam kelompok
Manuskrip antara lain adalah KK Suryaraja (buku matahari raja-raja) yang
dikarang oleh Sultan HB II semasa beliau masih menjadi putra mahkota, KK
Alquran yang berupa manuskrip kitab suci Alquran, dan KK Bharatayudha
yang berupa ceritera wayang.
Pusaka
dalam bentuk perlengkapan sehari-hari misalnya Ny Mrico, sebuah periuk
yang hanya digunakan untuk menanak nasi saat upacara Garebeg Mulud tahun Dal
(terjadi hanya delapan tahun sekali). Pusaka kelompok lain-lain misalnya wayang
kulit tokoh tertentu (misalnya KK Jayaningrum [tokoh Arjuna], KK
Jimat [tokoh Yudhistira], dan KK Wahyu Kusumo [tokoh Batara Guru])
maupun tembikar (misalnya K Danumurti sebuah enceh/kong (guci tembikar),
yang konon berasal dari Aceh, yang juga terdapat di pemakaman Imogiri) dan lain
sebagainya.
v Regalia
Regalia merupakan pusaka yang menyimbolkan karakter Sultan
Yogyakarta dalam memimpin negara berikut rakyatnya. Regalia yang
dimiliki oleh terdiri dari berbagai benda yang memiliki makna tersendiri yang
kesemuanya secara bersama-sama disebut KK Upocoro. Macam benda dan dan
maknanya sebagai berikut:
1.
Banyak (berwujud
angsa) menyimbolkan kelurusan, kejujuran, serta kesiap siagaan serta ketajaman;
2.
Dhalang (berwujud
kijang) menyimbolkan kecerdasan dan ketangkasan;
3.
Sawung (berwujud ayam
jantan) menyimbolkan kejantanan dan rasa tanggung jawab;
4.
Galing (berwujud
burung merak jantan) menyimbolkan kemuliaan, keagungan, dan keindahan;
5.
Hardawalika (berwujud
raja ular naga) menyimbolkan kekuatan;
6.
Kutuk (berwujud kotak
uang) menyimbolkan kemurahan hati dan kedermawanan;
7.
Kacu Mas (berwujud
tempat saputangan emas) menyimbolkan kesucian dan kemurnian;
8.
Kandhil (berwujud
lentera minyak) menyimbolkan penerangan dan pencerahan; dan
9.
Cepuri (berwujud
nampan sirih pinang), Wadhah Ses (berwujud kotak rokok), dan Kecohan
(berwujud tempat meludah sirih pinang) menyimbolkan proses membuat
keputusan/kebijakan negara.
KK Upocoro selalu ditempatkan di belakang Sultan saat upacara resmi
kenegaraan (state ceremony) dilangsungkan. Pusaka ini dibawa oleh
sekelompok gadis remaja yang disebut dengan abdi-Dalem Manggung.
v Lambang Kebesaran (Royal Attribute)
KK Ampilan sebenarnya merupakan satu set benda-benda penanda
martabat Sultan. Benda-benda tersebut adalah Dampar Kencana (singgasana
emas) berikut Pancadan/Amparan (tempat tumpuan kaki Sultan di muka
singgasana) dan Dampar Cepuri (untuk meletakkan seperangkat sirih pinang
di sebelah kanan singgasana Sultan); Panah (anak panah); Gendhewa
(busur panah); Pedang; Tameng (perisai); Elar Badhak
(kipas dari bulu merak); KK Alquran (manuskrip Kitab Suci tulisan
tangan); Sajadah (karpet/tikar ibadah); Songsong (payung
kebesaran); dan beberapa Tombak. KK Ampilan ini selalu berada di sekitar Sultan
saat upacara resmi kerajaan (royal ceremony) diselenggarakan. Berbeda
dengan KK Upocoro, pusaka KK Ampilan dibawa oleh sekelompok
ibu-ibu/nenek-nenek yang sudah menopause.
v Gamelan
Gamelan
merupakan seperangkat ansambel tradisional Jawa. Orkestra ini memiliki tangga
nada pentatonis dalam sistem skala slendro dan sistem skala pelog.
Keraton Yogyakarta memiliki sekitar 18-19 set ansambel gamelan pusaka, 16
diantaranya digunakan sedangkan sisanya (KK Bremara dan KK Panji)
dalam kondisi yang kurang baik. Setiap gamelan memiliki nama kehormatan
sebagaimana sepantasnya pusaka yang sakral. Tiga buah gamelan dari berasal dari
zaman sebelum Perjanjian Giyanti dan lima belas sisanya berasal dari zaman
Kesultanan Yogyakarta. Tiga gamelan tersebut adalah gamelan monggang yang bernama KK Guntur Laut, gamelan kodhok ngorek yang bernama KK
Maeso Ganggang, dan gamelan sekati yang bernama KK Guntur Madu.
Ketiganya merupakan gamelan terkeramat dan hanya dimainkan/dibunyikan pada
even-even tertentu saja.
Gamelan
monggang KK Guntur Laut konon berasal dari zaman Majapahit. Gamelan yang
dapat dikatakan paling sakral di Keraton ini merupakan sebuah ansambel
sederhana yang terdiri dari tiga buah nada dalam sistem skala slendro.
Pada zamannya gamelan ini hanya dimainkan dalam upacara kenegaraan yang sangat
penting yaitu upacara pelantikan/pemahkotaan Sultan, mengiringi keberangkatan
Sultan dari istana untuk menghadiri upacara penting, perayaan maleman (upacara
pada malam tanggal 21,23,25, dan 29 bulan Ramadan), pernikahan kerajaan,
upacara garebeg, dan upacara pemakaman Sultan. Gamelan ini memiliki nilai
sejarah penting. Atas perkenan Sunan PB III, KK Guntur laut dimainkan saat
penyambutan Sri Sultan Hamengkubuwono I pada penandatanganan Perjanjian Giyanti
di tahun 1755.
KK Maeso
Ganggang juga merupakan
gamelan kuno yang konon juga berasal dari zaman Majapahit. Gamelan kodhok
ngorek ini juga menggunakan sistem skala slendro. Gamelan ini didapatkan
oleh Pangeran Mangkubumi dari Perjanjian Giyanti. Penggunaannya juga sangat
sakral dan selalu dimainkan pada upacara kenegaraan seperti upacara pemahkotaan
Sultan dan pernikahan kerajaan. Gamelan nomor dua di Keraton ini juga dimainkan
dalam peringatan ulang tahun Sultan, upacara sunatan putra Sultan, dan untuk
megiringi prosesi Gunungan ke Masjid Besar.
Gamelan
sekati KK Guntur Madu dimainkan di Pagongan Kidul saat Upacara Sekaten,
serta dalam upacara sunatan dan pernikahan Putra Mahkota. Konon gamelan ini
berasal dari zaman Kesultanan Demak. Versi lain mengatakan alat musik ini
buatan Sultan Agung saat memerintah kerajaan Mataram. Gamelan ini menjadi milik
Kesultanan Yogyakarta setelah perjanjian Giyanti sementara pasangannya KK
Guntur Sari menjadi milik Kesunanan Surakarta. Agar gamelan sekati ini
tetap berjumlah sepasang maka dibuatlah duplikatnya (jw. dipun putrani) dan
diberi nama KK Naga Wilaga yang dibunyikan di Pagongan Utara. Kekhususan
gamelan ini adalah bentuknya yang lebih besar dari gamelan umumnya dan
instrumen kendhang (gendang) yang mencerminkan Hinduisme digantikan oleh bedug
kecil (dianggap mencerminkan Islam).
KK Guntur
Sari dipergunakan
untuk mengiringi Beksan Lawung, sebuah tarian sakral, pada upacara
pernikahan putra Sultan. KK Surak diperdengarkan untuk mengiringi uyon-uyon
(lagu-lagu tradisional Jawa), tari-tarian, dan wayang kulit. Gamelan-gamelan
ada yang berpasangan secara khusus antara lain KK Harja Nagara (dalam
skala slendro) dengan KK Harja Mulya (dalam skala pelog)
dan KK Madu Murti (dalam skala slendro) dengan KK Madu Kusumo
(dalam skala pelog).
v Kereta Kuda Pilihan
Pada
zamannya kereta kuda merupakan alat transportasi penting bagi masyarakat tak
terkecuali Keraton Yogyakarta. Keraton Yogyakarta memiliki bermacam kereta kuda
mulai dari kereta untuk bersantai dalam acara non formal sampai kereta
kebesaran yang digunakan secara resmi oleh raja. Kereta kebesaran tersebut
sebanding dengan mobil berplat nopol Indonesia 1 atau Indonesia 2 (mobil resmi
presiden dan wakil presiden Indonesia). Kebanyakan kereta kuda adalah buatan
Eropa terutama Negeri Belanda walaupun ada beberapa yang dibuat di Roto Wijayan (misal KK Jetayu).
KNy Jimat merupakan kereta kebesaran Sultan HB I sampai dengan
Sultan HB IV. Kereta kuda ini merupakan pemberian Gubernur Jenderal Jacob
Mossel. KK Garudho Yakso merupakan kereta kebesaran Sultan HB VI sampai
HB X (walaupun dalam kenyataannya Sultan HB IX dan HB X sudah menggunakan
mobil). Kereta kuda buatan Den Haag tahun 1861 ini terakhir kali digunakan pada
tahun 1989, saat prosesi Kirab Jumenengan Dalem (perarakan pemahkotaan
raja). KK Wimono Putro adalah kereta yang digunakan oleh Pangeran
Adipati Anom (Putra Mahkota). KK Jetayu merupakan kendaraan yang
digunakan Sultan untuk menghadiri acara semi resmi. KK Roto Praloyo
merupakan kereta jenazah yang hanya digunakan untuk membawa jenazah Sultan.
Konon kereta ini baru digunakan dua kali yaitu pada saat pemakaman Sultan HB
VIII dan HB IX.
K Harsunaba adalah kendaraan yang digunakan dalam resepsi
pernikahan, sementara K Jongwiyat, K Manik Retno, K Jaladara
dan K Mondro Juwolo kadang-kadang digunakan oleh Pangeran Diponegoro.
Selain itu juga terdapat kereta, K Noto Puro, K Roto Biru, K
Kutho Kaharjo, K Puspo Manik, Rejo Pawoko, Landower, Landower
Surabaya, Landower Wisman, Kus Gading, Kus nomor 10,
dan lain-lain. Masing-masing kereta tersebut memiliki kegunaan sendiri-sendiri.
v Tanda Jabatan
Beberapa
pusaka, khususnya keris, juga digunakan sebagai penanda/simbol jabatan orang
yang memakainya. Sebagai contoh adalah keris KKA Kopek. Keris utama Keraton Yogyakarta ini merupakan keris yang
hanya diperkenankan untuk dipakai Sultan yang sedang bertahta yang melambangkan
martabatnyanya sebagai pemimpin spiritual sebagaimana beliau menjadi kepala
kerajaan. oleh Sultan sendiri. Keris KK
Joko Piturun merupakan keris yang dipinjamkan oleh Sultan kepada Pangeran
Adipati Anom, Putra Mahkota Kerajaan, sebagai tanda jabatannya. Keris KK Toyatinaban merupakan keris yang
dipinjamkan oleh Sultan kepada Gusti Pangeran Harya Hangabehi, putra
tertua Sultan, sebagai lambang kedudukannya selaku Kepala Parentah Hageng
Karaton (Lembaga Istana). Keris KK
Purboniyat merupakan keris yang dipinjamkan oleh Sultan kepada Kangjeng
Pangeran (h)Adipati (h)Aryo Danurejo, sebagai simbol jabatannya sebagai
Pepatih Dalem.
v Pemangku Adat Yogyakarta
Pada
mulanya Keraton Yogyakarta merupakan sebuah Lembaga Istana Kerajaan (The
Imperial House) dari Kesultanan Yogyakarta. Secara tradisi lembaga ini
disebut Parentah Lebet (harfiah=Pemerintahan Dalam) yang berpusat di
Istana (keraton) dan bertugas mengurus Sultan dan Kerabat Kerajaan (Royal
Family). Dalam penyelenggaraan pemerintahan Kesultanan Yogyakarta disamping
lembaga Parentah Lebet terdapat Parentah nJawi/Parentah Nagari
(harfiah=Pemerintahan Luar/Pemerintahan Negara) yang berpusat di nDalem
Kepatihan dan bertugas mengurus seluruh negara.
Sekitar
setahun setelah Kesultanan Yogyakarta (khususnya Parentah nJawi)
bersama-sama Kadipaten Paku Alaman diubah statusnya dari negara (state)
menjadi Daerah Istimewa setingkat Provinsi secara resmi pada 1950, Keraton
mulai dipisahkan dari Pemerintahan Daerah Istimewa dan di-depolitisasi sehingga
hanya menjadi sebuah Lembaga Pemangku Adat Jawa khususnya garis/gaya
Yogyakarta. Fungsi Keraton berubah menjadi pelindung dan penjaga identitas budaya
Jawa khususnya gaya Yogyakarta.
Walaupun
dengan fungsi yang terbatas pada sektor informal namun keraton Yogyakarta tetap
memiliki kharisma tersendiri di lingkungan masyarakat Jawa khususnya di Prov.
D.I. Yogyakarta. Selain itu keraton Yogyakarta juga memberikan gelar
kebangsawanan kehormatan (honoriscausa) pada mereka yang mempunyai perhatian
kepada budaya Jawa khususnya Yogyakarta disamping mereka yang berhak karena
hubungan darah maupun karena posisi mereka sebagai pegawai (abdi-Dalem)
keraton.
Namun
demikian ada perbedaan antara Keraton Yogyakarta dengan Keraton/Istana
kerajaan-kerajaan Nusantara yang lain. Sultan Yogyakarta selain sebagai Yang
Dipertuan Pemangku Tahta Adat /Kepala Keraton juga memiliki kedudukan yang
khusus dalam bidang pemerintahan sebagai bentuk keistimewaan daerah Yogyakarta.
Dari permulaan DIY berdiri (de facto 1946 dan de yure 1950) sampai tahun 1988
Sultan Yogyakarta secara otomatis diangkat sebagai Gubernur/Kepala Daerah
Istimewa yang tidak terikat dengan ketentuan masa jabatan, syarat, dan cara
pengangkatan Gubernur/Kepala Daerah lainnya (UU 22/1948; UU 1/1957; Pen Pres
6/1959; UU 18/1965; UU 5/1974). Antara 1988-1998 Gubernur/Kepala Daerah
Istimewa dijabat oleh Wakil Gubernur/Wakil Kepala Daerah Istimewa yang juga
Penguasa Paku Alaman. Setelah 1999 keturunan Sultan Yogyakarta tersebut yang
memenuhi syarat mendapat prioritas untuk diangkat menjadi Gubernur/Kepala
Daerah Istimewa (UU 22/1999; UU 32/2004). Saat ini yang menjadi Yang Dipertuan
Pemangku Tahta adalah Sultan Hamengku Buwono X.
2.
Akademik Angkatan Udara (AAU)
Dari waktu ke waktu koleksi museum ini bertambah dan
membuat ruangan museum tidak memadai lagi untuk menyiompan koleksi koleksi
tersebut maka museum kemudian dipindahkan lagi ke Gudang bekas pabrik gula di
Woonocatur yang masih berada dalam kawasan Landasan Udara Adisutjipto. Gudang
ini dulunya pada saat zaman Jepan digunakan sebagai hangar pesawat dan gudang
senjata. Peresmian tempat yang baru ini dilakukan oleh Kepala Staff TNI AU ,
Marsekal TNI Sukardi pada tanggal 29 Juli 1984.
Koleksi
Museum saat ini sudah mencapai ribuan, diantaranya alutsista (alat Utama Sistem
Senjata) dengan banyak ragam, puluhan model pesawat, radio pemancar dan radar,
model pakaian dinas TNI AU, Diorama dan masih banyak koleksi foto maupun
prasasti yang lain. Memasuki halam museum kita akan disambut oleh Pesawat
tempur A4-E Skyhawk yang dipajang didepan gedung Museum, ini merupakan koleksi
terbaru dari museum ini. Jenis pesawat ini dimiliki TNI AU sebanyak 37 unit
hingga tahun 2003, yang kemudian beberapa digantikan oleh jenis pesawat Sukhoi
type Su-27SK dan Su-30MK.
Begitu
banyaknya koleksi Museum ini maka koleksi Museum ini dikelompokkan dalam tujuh
ruangan yang berbeda yakni Ruangan Utama, Ruang Kronologi I, Ruang Kronologi
II, Ruang Alutsista, Ruang Paskhas, Ruang Diorama, dan Ruang Minat Dirgantara.
Begitu
memasuki Gedung Museum terdapat 4 patung tokoh perintis TNI AU yakni, Marsekal
Muda Anumerta Agustinus Adisutjipto, Marsekal Muda Anumerta Prof. Dr.
Abdulrachman Saleh, Marsekal Muda Anumerta Abdul Halim Perdanakusuma dan Marsekal
Muda Anumerta Iswahjudi. Selanjutnya Diruangan Kronologi I anda dapat
menyaksikan foto serta informasi mengenai pembentukan Angkatan Udara Indonesia.
Diantaranya penerbangan perdana pesawat merah putih tanggal 27 Oktober 1945,
pembentukan sekolah penerbangan yang pertama di Maguwo tanggal 7 nopember 1945
yang dipimpin A. Adisutjipto, Operasi Seroja, pembentukan TRI Angkatan Udara
dan masih banyak koleksi lainnya. Ruangan Selanjutnya yakni Ruang Paskhas
berisi tentang beberapa Pakaian dinas yang dikenakan TNI AU, baik pakaian
tempur, Dinas harian ataupun pakain tugas penerbangan.
Ruangan
berikut dan paling mengesankan adalah ruang alutsista dimana ditunjukkan
beberapa pesawat yang pernaha digunakan TNI AU diantaranya Pesawat Mustang P51
buatan Amerika yang sangat tekenal, ada juga pesawat buatan inggris vampire
type DH-115 yang merupakan pesawat jet pertama yang diterbangkan oleh Letnan
Udara I Leo Wattimena pada tahun 1956. Dan yang paling penting adalah replika
pesawat Dakota C-47 yang ditembak oleh Belanda di Daerah Ngotho yang menewaskan
perintis TNI Angkatan Udara kita.
3.
Candi Prambanan
1) Arca
Brahma
Menurut ajaran agama Hindu, Brahma (Dewanagari:
ब्रह्मा; IAST: Brahmā) adalah Dewa pencipta. Dalam filsafat Adwaita,
ia dipandang sebagai salah satu manifestasi dari Brahman
(sebutan Tuhan
dalam konsep Hinduisme) yang bergelar sebagai Dewa
pencipta. Dewa Brahma sering disebut-sebut dalam kitab Upanishad
dan Bhagawadgita.
Brahma dalam Bhagawadgita
Dalam
kitab suci Bhagawadgita, Dewa
Brahma muncul dalam bab 8 sloka ke-17 dan ke-18; bab 14 sloka ke-3 dan ke-4;
bab 15 sloka ke-16 dan ke-17. Dalam ayat-ayat tersebut, Dewa Brahma
disebut-sebut sebagai Dewa pencipta, yang menciptakan alam semesta atas berkah
dari Tuhan
Yang Maha Esa. Dalam Bhagawadgita juga disebutkan, siang hari bagi
Brahma sama dengan satu Kalpa, dan Brahma hidup selama seratus tahun Kalpa,
setelah itu beliau wafat dan dikembalikan lagi ke asalnya, yakni Tuhan
Yang Maha Esa.
Dewa pencipta
Menurut
agama
Hindu, Brahma adalah salah satu di antara Trimurti
(Brahma, Wisnu,
Siwa).
Dewa Brahma juga bergelar sebagai Dewa pengetahuan dan kebijaksanaan. Beberapa
orang bijaksana memberinya gelar sebagai Dewa api. Dewa Brahma beristrikan Dewi
Saraswati, yang menurunkan segala ilmu pengetahuan ke dunia.
Menurut
mitologi Hindu, Dewa Brahma lahir dengan sendirinya (tanpa Ibu) dari dalam bunga teratai
yang tumbuh di dalam Dewa Wisnu pada saat penciptaan alam semesta. Legenda lain
mengatakan bahwa Dewa Brahma lahir dari air. Di sana Brahman
menaburkan benih yang menjadi telur emas. Dari telur emas tersebut, lahirlah
Dewa Brahma Sang pencipta. Material telur emas yang lainnya menjadi Brahmanda,
atau telur alam semesta.
Menurut
cerita kuno, pada saat penciptaan alam semesta, Brahma menciptakan sepuluh
Prajapati, yang konon merupakan ayah-ayah (kakek moyang) manusia pertama.
Menurut Manusmrti, sepuluh Prajapati tersebut adalah: Marichi, Atri, Anggirasa,
Pulastya, Pulaha, Kratu, Wasistha, Praceta atau Daksa, Briegu, dan Narada. Ia
juga konon menciptakan tujuh pujangga
besar yang disebut Sapta Rsi untuk menolongnya menciptakan alam semesta.
Menurut
kisah di balik penulisan Ramayana, Dewa Brahma memberkati Resi Walmiki
untuk menulis kisah Ramayana, menceritakan riwayat Rama
yang pada masa itu sedang memerintah di Ayodhya.
Penggambaran
Dewa
Brahma memiliki ciri-ciri sesuai dengan karakter yang dimilikinya. Ada
ciri-ciri umum yang dimiliki Dewa Brahma, yakni:
·
bermuka empat yang memandang ke empat penjuru mata angin (catur muka), yang
mana pada masing-masing wajah mengumandangkan salah satu dari empat Veda.
·
bertangan empat, masing-masing membawa:
1.
Tongkat Teratai, kadangkala sendok (Brahma terkenal sebagai Dewa yadnya
atau upacara)
3.
Busur
4.
Genitri Akṣamālā
·
menunggangi hamsa (angsa) atau duduk di atas teratai
Siklus Dewa Brahma
Brahma hidup selama seratus tahun Kalpa. Satu tahun Kalpa sama dengan 3.110.400.000.000 tahun.
Setelah seratus tahun Kalpa, maka Dewa Siwa sebagai Dewa pelebur mengambil perannya untuk melebur alam semesta beserta
isinya untuk dikembalikan ke asalnya. Setelah itu, Brahma sebagai pencipta
tutup usia, dan alam semesta bisa diciptakan kembali oleh kehendak Tuhan.
2) Arca
Wisnu
Etimologi
Penjelasan tradisional menyatakan bahwa kata Viṣṇu
berasal dari Bahasa Sanskerta, akar
katanya viś, (yang berarti "menempati", "memasuki",
juga berarti "mengisi" — menurut Regweda),
dan mendapat akhiran nu. Kata Wisnu kira-kira diartikan: "Sesuatu
yang menempati segalanya". Pengamat Weda,
Yaska, dalam kitab Nirukta,
mendefinisikan Wisnu sebagai vishnu vishateh ("sesuatu yang
memasuki segalanya"), dan yad vishito bhavati tad vishnurbhavati
(yang mana sesuatu yang tidak terikat dari belenggu itu adalah Wisnu).
Adi
Shankara dalam pendapatnya tentang Wisnu
Sahasranama, mengambil kesimpulan dari akar kata tersebut, dan
mengartikannya: "yang hadir dimana pun" ("sebagaimana Ia
menempati segalanya, vevesti, maka Ia disebut Visnu"). Adi Shankara
menyatakan: "kekuatan dari Yang Mahakuasa telah memasuki seluruh alam
semesta." Akar kata Viś berarti 'masuk ke dalam.'
Mengenai akhiran –nu, Manfred
Mayrhofer berpendapat bahwa bunyinya mirip dengan kata jiṣṇu'
("kejayaan"). Mayrhofer juga berpendapat kata tersebut merujuk pada
sebuah kata Indo-Iranian *višnu, dan kini telah digantikan dengan kata
rašnu dalam kepercayaan Zoroaster
di Iran.
Akar kata viś juga dihubungkan dengan viśva
("segala"). Pendapat berbeda-beda mengenai penggalan suku kata
"Wisnu" misalnya: vi-ṣṇu ("mematahkan punggung"), vi-ṣ-ṇu
("memandang ke segala penjuru") dan viṣ-ṇu
("aktif"). Penggalan suku kata dan arti yang berbeda-beda terjadi
karena kata Wisnu dianggap tidak memiliki suku kata yang konsisten.
Wisnu dalam susastra Hindu
Lukisan Wisnu
melakukan Triwikrawa saat
menjelma sebagai Wamana. Lukisan ini berasal dari Nepal, dibuat sekitar abad ke-19.
Susastra
Hindu banyak menyebut-nyebut nama Wisnu di antara dewa-dewi
lainnya. Dalam kitab Weda, Dewa Wisnu muncul sebanyak 93 kali. Ia sering muncul
bersama dengan
Indra,
yang membantunya membunuh Wretra, dan bersamanya ia meminum Soma. Hubungannya yang dekat dengan Indra membuatnya disebut
sebagai saudara. Dalam Weda, Wisnu muncul tidak sebagai salah satu dari delapan Aditya,
namun sebagai pemimpin mereka. Karena mampu melangkah di tiga alam, maka Wisnu
dikenal sebagai Tri-wikrama atau Uru-krama untuk langkahnya yang
lebar. Langkah pertamanya di bumi, langkah keduanya di langit, dan langkah
ketiganya di dunia yang tidak bisa dilihat oleh manusia, yaitu di surga.
Dalam kitab Purana, Wisnu sering muncul dan menjelma sebagai seorang Awatara, seperti misalnya Rama dan Kresna, yang muncul dalam Itihasa (wiracarita Hindu). Dalam penitisannya tersebut, Wisnu berperan sebagai manusia unggul.
Dalam kitab Bhagawadgita, Wisnu
menjabarkan ajaran agama dengan mengambil sosok sebagai Sri Kresna,
kusir kereta Arjuna,
menjelang perang di Kurukshetra
berlangsung. Pada saat itu pula Sri Kresna menampakkan wujud rohaninya sebagai
Wisnu, kemudian ia menampakkan wujud semestanya kepada Arjuna.
Wujud Dewa Wisnu
Dalam Purana,
dan selayaknya penggambaran umum, Dewa Wisnu dilukiskan sebagai dewa yang
berkulit hitam-kebiruan atau biru gelap; berlengan empat, masing-masing
memegang: gada,
lotus,
sangkala,
dan chakra. Yang paling identik dengan Wisnu adalah senjata cakra
dan kulitnya yang berwarna biru gelap. Dalam filsafat Waisnawa,
Wisnu disebutkan memiliki wujud yang berbeda-beda atau memiliki aspek-aspek
tertentu.
Dalam filsafat Waisnawa, Wisnu memiliki enam sifat ketuhanan:
·
Jñāna: mengetahui
segala sesuatu yang terjadi di alam semesta
·
Aishvarya: maha kuasa,
tak ada yang dapat mengaturnya
·
Shakti: memiliki
kekuatan untuk membuat yang tak mungkin menjadi mungkin
·
Bala: maha kuat,
mampu menopang segalanya tanpa merasa lelah
·
Virya: kekuatan
rohani sebagai roh suci dalam semua makhluk
·
Tèjas: memberi cahaya
spiritualnya kepada semua makhluk
Beberapa sarjana Waisnawa meyakini bahwa masih banyak kekuatan Wisnu yang
lain dan jumlahnya tak terhitung, namun yang paling penting untuk diketahui
hanyalah enam.
Penggambaran
Dalam Purana,
Wisnu disebutkan bersifat gaib dan berada dimana-mana. Untuk memudahkan
penghayatan terhadapnya, maka simbol-simbol dan atribut tertentu dipilih sesuai
dengan karakternya, dan diwujudkan dalam bentuk lukisan, pahatan, dan arca.
Dewa Wisnu digambarkan sebagai berikut:
·
Seorang pria yang berlengan empat. Berlengan empat melambangkan segala
kekuasaanya dan segala kekuatannya untuk mengisi seluruh alam semesta.
·
Kulitnya berwarna biru gelap, atau seperti warna langit. Warna biru
melambangkan kekuatan yang tiada batas, seperti warna biru pada langit abadi
atau lautan abadi tanpa batas.
·
Pada lehernya, terdapat permata Kaustubha dan kalung dari rangkaian bunga
·
Memakai mahkota, melambangkan kuasa seorang pemimpin
·
Memakai sepasang giwang, melambangkan dua hal yang selalu bertentangan
dalam penciptaan, seperti: kebijakan dan kebodohan, kesedihan dan kebahagiaan,
kenikmatan dan kesakitan.
Wisnu
sering dilukiskan memegang empat benda yang selalu melekat
dengannya, yakni:
·
Terompet kulit kerang atau Shankhya, bernama
"Panchajanya", dipegang oleh tangan kiri atas, simbol kreativitas.
Panchajanya melambangkan lima elemen penyusun alam semesta dalam agama Hindu,
yakni: air, tanah, api, udara, dan ether.
·
Cakram, senjata berputar dengan gerigi tajam, bernama
"Sudarshana", dipegang oleh tangan kanan atas, melambangkan pikiran.
Sudarshana berarti pandangan yang baik.
·
Bunga lotus atau Padma, simbol kebebasan. Padma melambangkan kekuatan yang memunculkan alam
semesta.
Tiga wujud
Dalam ajaran filsafat Waisnawa (terutama di India),
Wisnu disebutkan memiliki tiga aspek atau perwujudan lain. Ketiga wujud
tersebut yaitu: Kāraṇodakaśāyi Vishnu atau Mahā
Vishnu; Garbhodakaśāyī Vishnu; dan Kṣirodakasāyī Vishnu.
Menurut Bhagawadgita, ketiga
aspek tersebut disebut "Puruṣa Avatāra", yaitu penjelmaan Wisnu yang memengaruhi
penciptaan dan peleburan alam material. Kāraṇodakaśāyi Vishnu (Mahā Vishnu) dinyatakan sebagai Wisnu
yang berbaring dalam "lautan penyebab" dan Beliau menghembuskan
banyak alam semesta (galaksi) yang jumlahnya tak dapat dihitung; Garbhodakaśāyī
Vishnu dinyatakan sebagai Wisnu yang masuk ke dalam setiap alam semesta dan
menciptakan aneka rupa; Kṣirodakasāyī
Vishnu (Roh utama) dinyatakan sebagai Wisnu masuk ke dalam setiap makhluk dan
ke dalam setiap atom.
Lima wujud
·
Para. Para merupakan
wujud tertinggi dari Dewa Wisnu yang hanya bisa ditemui di Sri Waikunta, juga disebut Moksha, bersama dengan pasangannya — Dewi Lakshmi, Bhuma Dewi dan Nila Di sana Ia
dikelilingi oleh roh-roh suci dan jiwa yang bebas.
·
Vyuha. Dalam wujud
Vyuha, Dewa Wisnu terbagi menjadi empat wujud yang mengatur empat fungsi
semesta yang berbeda, serta mengontrol segala aktivitas makhluk hidup.
·
Vibhava. Dalam wujud
Vibhava, Wisnu diasumsikan memiliki penjelmaan yang berbeda-beda, atau lebih
dikenal dengan sebutan Awatara, yang mana bertugas untuk membasmi kejahatan dan
menegakkan keadilan di muka bumi.
·
Antaryami. Antaryami atau
“Sukma Vasudeva” adalah wujud Dewa Wisnu yang berada pada setiap hati makhluk
hidup.
·
Arcavatara.
Arcavatara merupakan manifestasi Wisnu dalam imajinasi, yang digunakan oleh
seseorang agar lebih mudah memujanya sebab pikirannya tidak mampu mencapai
wujud Para, Vyuha, Vibhava, dan Antaryami dari Wisnu.
Awatara
Dalam Purana,
Dewa Wisnu menjelma sebagai Awatara
yang turun ke dunia untuk menyelamatkan dunia dari kejahatan dan kehancuran.
Wujud dari penjelmaan Wisnu tersebut beragam, hewan atau manusia. Awatara yang
umum dikenal oleh umat Hindu berjumlah sepuluh yang disebut Dasa Awatara
atau Maha Avatār.
Sepuluh Awatara Wisnu:
Di antara sepuluh awatara tersebut, sembilan di antaranya diyakini sudah
menjelma dan pernah turun ke dunia oleh umat Hindu, sedangkan awatara terakhir
(Kalki)
masih menunggu hari lahirnya dan diyakini menjelma pada penghujung zaman Kali Yuga.
Hubungan dengan Dewa lain
Dewa Wisnu memiliki hubungan dengan Dewi Lakshmi,
Dewi kemakmuran yang merupakan istrinya. Selain dengan Indra,
Wisnu juga memiliki hubungan dekat dengan Brahmā
dan Siwa
sebagai konsep Trimurti. Kendaraan Dewa Wisnu adalah Garuda,
Dewa burung. Dalam penggambaran umum, Dewa Wisnu sering dilukiskan duduk di
atas bahu burung Garuda tersebut.
Tradisi dan pemujaan
Dalam tradisi Dvaita Waisnawa, Wisnu merupakan Makhluk yang Maha Kuasa. Dalam filsafat
Advaita Vedanta, Wisnu dipandang sebagai
salah satu dari manifestasi Brahman.
Dalam segala tradisi Sanatana
Dharma, Wisnu dipuja secara langsung maupun tidak langsung,
yaitu memuja awatara-nya.
Aliran Waisnawa memuja Wisnu secara khusus. Dalam sekte
Waisnawa di India,
Wisnu dipuja sebagai roh yang utama dan dibedakan dengan Dewa-Dewi
lainnya, yang disejajarkan seperti malaikat.
Waisnawa menganut monotheisme terhadap Wisnu, atau Wisnu
merupakan sesuatu yang tertinggi, tidak setara dengan Dewa.
Dalam tradisi Hindu umumnya, Dewa Wisnu memanifestasikan dirinya menjadi
Awatara, dan di India, masing-masing awatara tersebut dipuja secara khusus.
Tidak diketahui kapan sebenarnya pemujaan terhadap Wisnu dimulai. Dalam Veda
dan informasi tentang agama Hindu lainnya, Wisnu diasosiasikan dengan Indra.
Shukavak
N. Dasa, seorang sarjana
Waisnawa, berkomentar bahwa pemujaan dan lagu pujia-pujian dalam Veda
ditujukan bukan untuk Dewa-Dewi tertentu, melainkan untuk Sri Wisnu — Yang Maha
Kuasa — yang merupakan jiwa tertinggi dari para Dewa.
Di Bali,
Dewa Wisnu dipuja di sebuah pura khusus untuk beliau, bernama Pura Puseh,
yakni pura yang harus ada di setiap desa
dan kecamatan.
Di sana ia dipuja sebagai salah satu manifestasi Sang
Hyang Widhi yang memberi kesuburan dan memelihara alam semesta.
Menurut konsep Nawa Dewata dalam Agama Hindu Dharma di Bali,
Dewa Wisnu menempati arah utara dalam mata
angin. Warnanya hitam,
aksara sucinya “U” (ung).
Versi pewayangan Jawa
Dalam pementasan wayang Jawa, Wisnu sering disebut dengan gelar Sanghyang Batara Wisnu.
Menurut versi ini, Wisnu adalah putra kelima Batara
Guru dan Batari Uma.
Ia merupakan putra yang paling sakti di antara semua putra Batara Guru.
Menurut mitologi Jawa, Wisnu pertama kali turun ke dunia menjelma menjadi
raja bergelar Srimaharaja Suman. Negaranya bernama Medangpura, terletak di
wilayah Jawa Tengah sekarang. Ia kemudian
berganti nama menjadi Sri Maharaja Matsyapati, merajai semua jenis binatang
air.
Selain itu Wisnu juga menitis atau terlahir sebagai manusia. Titisan Wisnu
menurut pewayangan antara lain,
1.
Srimaharaja Kanwa.
2.
Resi Wisnungkara
3) Arca
Ganesa
Ganesa (Sanskerta गणेश ;
ganeṣa
dengarkan (bantuan·info))
adalah salah satu dewa terkenal dalam agama
Hindu dan banyak dipuja oleh umat
Hindu, yang memiliki gelar sebagai Dewa pengetahuan dan
kecerdasan, Dewa pelindung, Dewa penolak bala/bencana dan Dewa kebijaksanaan. Lukisan
dan patungnya
banyak ditemukan di berbagai penjuru India;
termasuk Nepal,
Tibet
dan Asia Tenggara. Dalam relief, patung dan
lukisan, ia sering digambarkan berkepala gajah, berlengan empat dan berbadan
gemuk. Ia dikenal pula dengan nama Ganapati, Winayaka dan Pilleyar.
Dalam tradisi pewayangan, ia disebut Bhatara Gana,
dan dianggap merupakan salah satu putera Bhatara
Guru (Siwa). Berbagai sekte
dalam agama Hindu memujanya tanpa memedulikan golongan. Pemujaan terhadap
Ganesa amat luas hingga menjalar ke umat Jaina,
Buddha,
dan di luar India
Meskipun ia dikenal memiliki banyak atribut, kepalanya
yang berbentuk gajah
membuatnya mudah untuk dikenali. Ganesa mahsyur sebagai "Pengusir segala
rintangan" dan lebih umum dikenal sebagai "Dewa saat memulai
pekerjaan" dan "Dewa segala rintangan" (Wignesa, Wigneswara),
"Pelindung seni dan ilmu pengetahuan", dan "Dewa kecerdasan dan
kebijaksanaan". Ia dihormati saat memulai suatu upacara
dan dipanggil sebagai pelindung/pemantau tulisan saat keperluan menulis dalam
upacara. Beberapa kitab mengandung anekdot mistis
yang dihubungkan dengan kelahirannya dan menjelaskan ciri-cirinya yang
tertentu.
Ganesa muncul sebagai dewa
tertentu dengan wujud yang khas pada abad ke-4
sampai abad
ke-5 Masehi, selama periode
Gupta, meskipun ia mewarisi sifat-sifat pelopornya pada zaman Weda
dan pra-Weda.
Ketenarannya naik dengan cepat, dan ia dimasukkan di
antara lima dewa utama dalam ajaran Smarta
(sebuah denominasi Hindu) pada abad ke-9.
Sekte para pemujanya yang disebut Ganapatya,
(Sanskerta: गाणपत्य; gāṇapatya), yang menganggap Ganesa sebagai dewa yang utama, muncul
selama periode itu.
Kitab utama yang didedikasikan untuk Ganesa adalah Ganesapurana,
Mudgalapurana, dan Ganapati Atharwashirsa.
4.
Candi Borobudur
v Arca
Buddha
Selain
wujud buddha dalam kosmologi buddhis yang terukir di dinding, di Borobudur
terdapat banyak arca buddha duduk bersila dalam posisi teratai serta
menampilkan mudra atau sikap tangan simbolis
tertentu. Patung buddha dengan tinggi 1,5 meter ini dipahat dari bahan batu
andesit.
Patung
buddha dalam relung-relung di tingkat Rupadhatu, diatur berdasarkan barisan
di sisi luar pagar langkan. Jumlahnya semakin berkurang pada sisi atasnya.
Barisan pagar langkan pertama terdiri dari 104 relung, baris kedua 104 relung,
baris ketiga 88 relung, baris keempat 72 relung, dan baris kelima 64 relung.
Jumlah total terdapat 432 arca Buddha di tingkat Rupadhatu. Pada
bagian Arupadhatu (tiga pelataran melingkar), arca Buddha diletakkan di
dalam stupa-stupa berterawang
(berlubang). Pada pelataran melingkar pertama terdapat 32 stupa, pelataran
kedua 24 stupa, dan pelataran ketiga terdapat 16 stupa, semuanya total 72 stupa
Dari jumlah asli sebanyak 504 arca Buddha, lebih dari 300 telah rusak
(kebanyakan tanpa kepala) dan 43 hilang (sejak penemuan monumen ini, kepala buddha
sering dicuri sebagai barang koleksi, kebanyakan oleh museum luar negeri).
Secara
sepintas semua arca buddha ini terlihat serupa, akan tetapi terdapat perbedaan
halus diantaranya, yaitu pada mudra atau posisi sikap tangan.
Terdapat lima golongan mudra: Utara, Timur, Selatan, Barat, dan Tengah,
kesemuanya berdasarkan lima arah utama kompas menurut ajaran Mahayana. Keempat pagar langkan
memiliki empat mudra: Utara, Timur, Selatan, dan Barat, dimana
masing-masing arca buddha yang menghadap arah tersebut menampilkan mudra
yang khas. Arca Buddha pada pagar langkan kelima dan arca buddha di dalam 72
stupa berterawang di pelataran atas menampilkan mudra: Tengah atau
Pusat. Masing-masing mudra melambangkan lima Dhyani Buddha;
masing-masing dengan makna simbolisnya tersendiri.
Arca
|
Mudra
|
Melambangkan
|
Dhyani Buddha
|
Arah Mata Angin
|
Lokasi Arca
|
Bhumisparsa mudra
|
Memanggil bumi
sebagai saksi
|
Timur
|
Relung di pagar
langkan 4 baris pertama Rupadhatu sisi timur
|
||
Wara mudra
|
Kedermawanan
|
Selatan
|
Relung di pagar
langkan 4 baris pertama Rupadhatu sisi selatan
|
||
Dhyana mudra
|
Semadi atau meditasi
|
Barat
|
Relung di pagar
langkan 4 baris pertama Rupadhatu sisi barat
|
||
Abhaya mudra
|
Ketidakgentaran
|
Utara
|
Relung di pagar
langkan 4 baris pertama Rupadhatu sisi utara
|
||
Witarka mudra
|
Akal budi
|
Tengah
|
Relung di pagar
langkan baris kelima (teratas) Rupadhatu semua sisi
|
||
Dharmachakra mudra
|
Pemutaran roda dharma
|
Tengah
|
Di dalam 72 stupa di
3 teras melingkar Arupadhatu
|
E.
Fungsi
Situs-Situs Sejarah
1.
Keraton Yogyakarta
Secara
singkatnya fungsi Keraton dapat dikategorikan menjadi dua yaitu fungsi keraton
pada masa sebelum kemerdekaan Republik
Indonesia dan pada masa kemerdekaan
Republik Indonesia.
1.
Pada
masa sebelum kemerdekaan Republik Indonesia
a.
Sebagai tempat tinggal raja dan
keluarganya
b.
Sebagai pusat pemerintahan
c.
Sebagai pusat kebudayaan dan
pengembangannya
2.
Pada
masa kemerdekaan Republik Indonesia
a.
Sebagai obyek wisata dan pengembangan
ilmu pengetahuan
b.
Sebagi Museum Perjuangan Bangsa
Secara deskripsinya, fungsi
Keraton dibagi menjadi dua yaitu fungsi Keraton pada masa lalu dan fungsi Keraton
pada masa kini. Pertama- tama, kami akan menjelaskan mengenai fungsi Keraton
pada masa lalu. Pada masa lalu keraton berfungsi sebagai tempat tinggal para
raja. Keraton didirikan pada tahun 1756, selain itu di bagian selatan dari Keraton
ini, terdapat komplek kesatriaan yang digunakan sebagai sekolah putra-putra
sultan. Sekolah mereka dipisahkan dari sekolah rakyat karena memang sudah
merupakan aturan pada Kraton bahwa putra- putra sultan tidak diperbolehkan
bersekolah di sekolah yang sama dengan rakyat. Sementara itu, fungsi Keraton
pada masa kini adalah sebagai tempat wisata yang dapat dikunjungi oleh siapapun
baik turis domestik maupun mancanegara. Selain sebagai tempat untuk berwisata,
tidak terlupakan pula fungsi Keraton yang bertahan dari dulu sampai sekarang
yaitu sebagai tempat tinggal Sultan. Pada
saat kita akan memasuki halaman kedua dari Keraton, terdapat gerbang dimana di
depannya terdapat dua buah arca. Setiap arca ini memiliki arti yang berlawanan.
Arca yang berada di sebelah kanan disebut Cingkorobolo yang melambangkan
kebaikan, sementara itu arca yang terletak di sebelah kiri disebut Boloupotu
yang melambangkan kejahatan. Selain itu kami juga mendapatkan sedikit informasi
tentang Sultan Hamengku Buwono IX. Sultan ke IX dari Keraton Yogyakarta ini
lahir pada tanggal 12 April 1940 dan wafat dalam usianya yang ke 48 yaitu pada
tanggal 3 Oktober 1988. Ia memiliki berbagai macam hobi, diantaranya adalah
menari, mendalang, memainkan wayang, dan yang terakhir memotret. Sultan ini
memiliki suatu semboyan yang terkenal yaitu, “ Tahta untuk rakyat”.
2.
Akademik Angkatan Udara (AAU)
Menyelenggarakan
operasi Udara dan pengelolaan fungsi-fungsi pelayanan pangkalan udara:
Membina
kesiapan tempur satuan-satuan operasional dalam jajarannya. Melaksanakan dan
mengendalikan operasi udara.
Melaksanakan pembinaan cadangan dan potensi kekuatan kedirgantaraan.
Melaksanakan pembinaan cadangan dan potensi kekuatan kedirgantaraan.
Danlanud
Adisutjipto dalam pelaksanaan tugas kewajibannya bertanggung jawab kepada
Dankodikau atas penyelenggaraan pembinaan dan pengoperasian pendidikan serta
kepada Pangkoopsau I atas penyelenggaraan operasi udara.
Danlanud Adi dijabat oleh seorang Perwira Tinggi TNI AU berpangkat Marsekal Pertama.
Danlanud Adi dijabat oleh seorang Perwira Tinggi TNI AU berpangkat Marsekal Pertama.
3.
Candi Prambanan dan Candi Borobudur
Fungsi Candi Borobudur dan Candi
Prambanan sebagai berikut:
1.
Sebagai tempat untuk
memuliakan raja yang telah mangkat,
2.
Untuk mengingat jasa-jasa
raja semasa hidupnya,
3.
Sebagai kuil atau
tempat sembahyang,
4.
Candi Pemujaan:
candi Hindu yang paling umum, dibangun untuk memuja dewa, dewi, atau bodhisatwa
tertentu,
5.
Candi Stupa:
didirikan sebagai lambang Budha atau menyimpan relik buddhis, atau sarana
ziarah agama Buddha. Secara tradisional stupa digunakan untuk menyimpan relikui
buddhis seperti abu jenazah, kerangka, potongan kuku, rambut, atau gigi yang
dipercaya milik Buddha Gautama, atau bhiksu Buddha terkemuka, atau keluarga
kerajaan penganut Buddha. Beberapa stupa lainnya dibangun sebagai sarana ziarah
dan ritual.
4.
Malioboro
Fungsi Malioboro sebagai berikut :
1.
Sebagai
tempat wisata
2.
Sebagai
tempat berbelanja
3.
Penanda
garis yang menghubungkan antara fase kehidupan manusia yang telah mencapai
posisi menduniawi
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kami dapat menambah wawasan yang lebih luas. Kami dapat mengetahui
sejarahnya, lokasi tempatnya, fungsinya, dan benda-benda pusakanya. Jadi kami
di sana belajar sambil berekreasi juga. Kami juga mendapatkan suatu
kenang-kenangan yang sangat indah pastinya. Banyak ilmu yang kami dapati
setelah study tour ke Yogyakarta dan
sekitarnya.
B.
Saran-Saran, pesan dan kesan
1. Kesan
Setelah mengadakan pengamatan,
pengumpulan serta penyusunan data di berbagai
obyek, kami menyimpulkan bahwa :
Kami mendapatkan suatu kenangan yang sangat banyak selama 4 hari
itu. Kita bukan cuma senang-senang saja tapi kami mendapatkan banyak ilmu dan materi.
Kami dapat mengetahui sifat-sifat kesehariannya kita yang sebelumnya orang lain
itu sendiri belum tau dan tanpa kita sadari bahwa semuanya akan diketahui oleh
teman-teman kita itu sendiri.
2. Pesan
Mohon maaf bila karya ilmiah kami ini kurang materinya ataupun
dalam kesalahan tekhnik pengetikannya. Kami minta maaf yang sebesar-besarnya
bila hasil karya ini kurang memuaskan.
3. Saran
1.
Harus menjaga dan kelestariannya bangunan yang bersejarah
2.
Jangan merusaknya dan mencuri batu-batunya yang terdapat di Candi Borobudur
ataupun Candi Prambanan
3.
Menghargai hasil karya Indonesia,seperti
benda-benda pusaka yang bersejarah
4.
Saling menghormati dengan agama yang
berbeda, karena di Indonesia ini ada 6 agama yang harus saling dihormati dengan
seksama walau berbeda ajarannya
DAFTAR PUSTAKA

Jason, Paul, 1988. Teori Sosiologi Klasik dan modern. Jakarta: Gramedia www.Yogyakarta.go.id. Artikel kebudayaan Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar